15 November 2013

IMAN mendasari, DOA menyempurnakan



[Renungan berdasarkan Bacaan Harian dalam Gereja Katolik, Luk. 18:1-18]

Sering sekali orang mengungkapkan kata-kata ini, “Doa adalah nafas Iman.” Maksudnya apa? Maksudnya, iman tanpa doa adalah sia-sia. Kalau doa digambarkan sebagai ‘nafas’ maka iman dapat hidup dan bermakna kalau di sana ada ketukunan dalam doa. Nafas orang beriman adalah doa. Kalau seseorang mengatakan dirinya beriman kepada Tuhan, maka ia punya “kewajiban” untuk membangun relasi yang intim dengan Tuhan. Kalau seseorang mengakui bahwa Tuhan itu ada, maka ia “harus” berdialog dengan Tuhan secara terus-menerus. Iman dan pengakuan yang benar akan Tuhan ditandai dengan hidup doa yang tekun dan benar.

Saya mengajak Anda melihat secara terbalik akan ungkapan (Doa adalah nafas Iman) di atas. Iman tidak bisa berbuat banyak tanpa doa. Sebaliknya, doa tidak bisa berbuat banyak tanpa iman. Lebih dalam dari itu, manusia tidak bisa berbuat apa-apa tanpa Tuhan. Karena iman dan doa ada pada manusia, yang diarahkan kepada Tuhan. Iman dan doa itu “satu paket”, tidak terpisahkan, malahan saling melengkapi. Iman kepada Tuhan dibuktikan dengan hidup doa yang tiada hentinya. Sedangkan doa kepada Tuhan dilakukan karena seseorang beriman kepada Tuhan. Demikianlah keduanya saling melengkapi. Kalau begitu, tidak hanya doa menjadi nafas iman tetapi sebaliknya juga “iman adalah nafas doa.” Karena tidak mungkin seorang dapat berdoa tanpa iman. Maka kita boleh sepakat bahwa “Doa adalah nafas Iman” dan “Iman adalah nafas Doa.”

Kawan, kalau iman membutuhkan doa dan doa membutuhkan iman, sudah sejauh mana Anda dan saya beriman dan berdoa? Bagaimanakah iman yang benar itu? Atau bagaimanakah doa yang benar itu? Sudahkah Anda dan saya beriman dan berdoa dengan benar? Tetaplah untuk mengingat bahwa iman tidak bisa berbuat banyak tanpa doa, dan doa tidak bisa berbuat banyak tanpa iman. Keduanya saling melengkapi, tak terpisahkan karena satu.

Iman adalah jawaban manusia atas tawaran Allah. Manusia beriman berarti menaklukkan seluruh pikiran dan kehendaknya kepada Allah. Itu berarti, dengan segenap pribadinya ia menyetujui bahwa Allah yang mewahyukan Diri. Itulah ketaatan iman. Itulah juga rahmat yang dituangkan dalam kegiatan manusia atas bantuan Roh Kudus yang berdiam dalam batin manusia. Dalam iman, akal budi dan kehendak manusia bekerja sama dengan rahmat ilahi.[1] Demikianlah iman adalah anugerah adikodrati dari Allah. Supaya manusia dapat percaya, manusia membutuhkan pertolongan batin dari Roh Kudus.[2]

Doa tidak terbatas pada pengungkapan spontan suatu dorongan batin; doa harus dikehendaki. Juga tidak cukup untuk diketahui, melainkan harus dilatih. Di dalam doa, Allah dan manusia berbicara, manusia mendengar Allah. Di dalam doa juga ada harapan, dan manusia menaruh harapan itu kepada Allah. Doa yang benar selalu bersumber pada Cinta Kasih, dan siapa menimba darinya ia akan mencapai puncak doa tertinggi. Karena itu, doa terutama tertuju kepada Bapa dan juga kepada Yesus, teristimewa dengan menyerukan nama-Nya yang kudus: “Yesus, Kristus, Putera Allah, Tuhan, kasihanilah kami orang berdosa.” Apakah doa kita dikabulkan, tidak tergantung pada banyaknya kata-kata, tetapi pada kesungguhan jiwa manusia.[3]

Tentang iman dan doa ini, Yesus menegaskan kepada murid-muridNya supaya mereka tidak jemu-jemunya berdoa dan memelihara iman mereka. Yesus meminta agar para muridNya senantiasa tinggal di dalam doa, mengetuk hati Allah dan senantiasa pula berbicara dengan Allah. Doa yang tidak jemu-jemunya dipanjatkan menandakan bahwa orang rindu akan Allah, karena itu mencariNya. Doa menyingkapkan iman seseorang, dan itu benar. Namun, tidak mungkin orang dapat berdoa kalau tidak memiliki iman. Karena itu Yesus bertanya, “Akan tetapi, jika Anak Manusia datang, adakah Ia mendapati iman di bumi? Iman dan doa saling membutuhkan.

Betapa pentingnya iman dan doa itu. Layaknya mata uang logam, sehingga tidak dapat saling dipisahkan. Bila “sisi” sebelahnya tak bernilai, maka “sisi” yang lain pun tak bernilai. Iman adalah sisi sebelah dari doa, keduanya saling melengkapi dan diarahkan kepada Allah. Kalau keduanya sama-sama bernilai dan penting, maka ungkapan ini sudah pasti dibenarkan: “Doa orang beriman pasti didengarkan Tuhan.” Tetapi, iman yang di dalamnya manusia menyerahkan totalitas dirinya (akal budi dan kehendak), dan doa yang di dalamnya diasalkan dari kehendak yang dilatih dan kesungguhan jiwa manusia terhadap Tuhan. Itulah iman dan doa yang benar, yang layak ditujukkan kepada Allah. Meski begitu, yang pertama lahir dari manusia adalah iman akan Allah, barulah doa kepada Allah. Iman mendasari hidup manusia, dan doa menyempurnakan keberadaannya.

Fr. Ignasius Fernatyanan


[1] Iman itu pasti, lebih pasti dari setiap pengertian manusiawi, karena ia berdasarkan Sabda Allah yang tidak dapat menipu. Memang kebenaran-kebenaran yang diwahyukan dapat kelihatan gelap bagi budi dan pengalaman manusiawi, tetapi "kepastian melalui cahaya ilahi itu lebih besar daripada kepastian melalui cahaya akal budi alamiah" (Th. Aquinas, KGK no. 157)
[2] Lih. Katekismus Gereja Katolik (KGK), Iman.
[3] Lih. Katekismus Gereja Katolik (KGK), Hidup Doa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar