[Renungan berdasarkan Bacaan Harian dalam
Gereja Katolik, Luk. 18:1-18]
Sering sekali orang mengungkapkan
kata-kata ini, “Doa adalah nafas Iman.” Maksudnya apa? Maksudnya, iman tanpa
doa adalah sia-sia. Kalau doa digambarkan sebagai ‘nafas’ maka iman dapat hidup
dan bermakna kalau di sana ada ketukunan dalam doa. Nafas orang beriman adalah
doa. Kalau seseorang mengatakan dirinya beriman kepada Tuhan, maka ia punya
“kewajiban” untuk membangun relasi yang intim dengan Tuhan. Kalau seseorang
mengakui bahwa Tuhan itu ada, maka ia “harus” berdialog dengan Tuhan secara
terus-menerus. Iman dan pengakuan yang benar akan Tuhan ditandai dengan hidup
doa yang tekun dan benar.
Saya mengajak Anda melihat secara
terbalik akan ungkapan (Doa adalah nafas Iman) di atas. Iman tidak bisa berbuat
banyak tanpa doa. Sebaliknya, doa tidak bisa berbuat banyak tanpa iman. Lebih
dalam dari itu, manusia tidak bisa berbuat apa-apa tanpa Tuhan. Karena iman dan
doa ada pada manusia, yang diarahkan kepada Tuhan. Iman dan doa itu “satu
paket”, tidak terpisahkan, malahan saling melengkapi. Iman kepada Tuhan dibuktikan
dengan hidup doa yang tiada hentinya. Sedangkan doa kepada Tuhan dilakukan
karena seseorang beriman kepada Tuhan. Demikianlah keduanya saling melengkapi. Kalau
begitu, tidak hanya doa menjadi nafas iman tetapi sebaliknya juga “iman adalah
nafas doa.” Karena tidak mungkin seorang dapat berdoa tanpa iman. Maka kita boleh
sepakat bahwa “Doa adalah nafas Iman” dan “Iman adalah nafas Doa.”
Kawan, kalau iman membutuhkan doa
dan doa membutuhkan iman, sudah sejauh mana Anda dan saya beriman dan berdoa?
Bagaimanakah iman yang benar itu? Atau bagaimanakah doa yang benar itu? Sudahkah
Anda dan saya beriman dan berdoa dengan benar? Tetaplah untuk mengingat bahwa
iman tidak bisa berbuat banyak tanpa doa, dan doa tidak bisa berbuat banyak
tanpa iman. Keduanya saling melengkapi, tak terpisahkan karena satu.
Iman adalah jawaban manusia atas
tawaran Allah. Manusia beriman berarti menaklukkan seluruh pikiran dan
kehendaknya kepada Allah. Itu berarti, dengan segenap pribadinya ia menyetujui
bahwa Allah yang mewahyukan Diri. Itulah ketaatan iman. Itulah juga rahmat yang
dituangkan dalam kegiatan manusia atas bantuan Roh Kudus yang berdiam dalam
batin manusia. Dalam iman, akal budi dan kehendak manusia bekerja sama dengan
rahmat ilahi.[1] Demikianlah
iman adalah anugerah adikodrati dari Allah. Supaya manusia dapat percaya,
manusia membutuhkan pertolongan batin dari Roh Kudus.[2]
Doa tidak terbatas pada pengungkapan
spontan suatu dorongan batin; doa harus dikehendaki. Juga tidak cukup untuk
diketahui, melainkan harus dilatih. Di dalam doa, Allah dan manusia berbicara,
manusia mendengar Allah. Di dalam doa juga ada harapan, dan manusia menaruh
harapan itu kepada Allah. Doa yang benar selalu bersumber pada Cinta Kasih, dan
siapa menimba darinya ia akan mencapai puncak doa tertinggi. Karena itu, doa
terutama tertuju kepada Bapa dan juga kepada Yesus, teristimewa dengan
menyerukan nama-Nya yang kudus: “Yesus, Kristus, Putera Allah, Tuhan,
kasihanilah kami orang berdosa.” Apakah doa kita dikabulkan, tidak tergantung
pada banyaknya kata-kata, tetapi pada kesungguhan jiwa manusia.[3]
Tentang iman dan doa ini, Yesus menegaskan
kepada murid-muridNya supaya mereka tidak jemu-jemunya berdoa dan memelihara
iman mereka. Yesus meminta agar para muridNya senantiasa tinggal di dalam doa,
mengetuk hati Allah dan senantiasa pula berbicara dengan Allah. Doa yang tidak
jemu-jemunya dipanjatkan menandakan bahwa orang rindu akan Allah, karena itu
mencariNya. Doa menyingkapkan iman seseorang, dan itu benar. Namun, tidak mungkin
orang dapat berdoa kalau tidak memiliki iman. Karena itu Yesus bertanya, “Akan
tetapi, jika Anak Manusia datang, adakah Ia mendapati iman di bumi? Iman dan
doa saling membutuhkan.
Betapa pentingnya iman dan doa itu. Layaknya
mata uang logam, sehingga tidak dapat saling dipisahkan. Bila “sisi” sebelahnya
tak bernilai, maka “sisi” yang lain pun tak bernilai. Iman adalah sisi sebelah
dari doa, keduanya saling melengkapi dan diarahkan kepada Allah. Kalau keduanya
sama-sama bernilai dan penting, maka ungkapan ini sudah pasti dibenarkan: “Doa
orang beriman pasti didengarkan Tuhan.” Tetapi, iman yang di dalamnya manusia
menyerahkan totalitas dirinya (akal budi dan kehendak), dan doa yang di
dalamnya diasalkan dari kehendak yang dilatih dan kesungguhan jiwa manusia
terhadap Tuhan. Itulah iman dan doa yang benar, yang layak ditujukkan kepada
Allah. Meski begitu, yang pertama lahir dari manusia adalah iman akan Allah,
barulah doa kepada Allah. Iman mendasari hidup manusia, dan doa menyempurnakan
keberadaannya.
Fr. Ignasius Fernatyanan
[1] Iman
itu pasti, lebih pasti dari setiap pengertian manusiawi, karena ia berdasarkan
Sabda Allah yang tidak dapat menipu. Memang kebenaran-kebenaran yang diwahyukan
dapat kelihatan gelap bagi budi dan pengalaman manusiawi, tetapi
"kepastian melalui cahaya ilahi itu lebih besar daripada kepastian melalui
cahaya akal budi alamiah" (Th. Aquinas, KGK no. 157)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar