1Raj. 17:10-16, Mzm. 146:7,8-9a,9bc-10, Ibr. 9:24-24, Mrk. 12:38-44
Hari ini, Tuhan Yesus memuji
seorang janda miskin karena perbuatannya. Janda itu menunjukkan satu sikap
hidup yang jarang sekali dibuat oleh orang lain. Kebiasaan memasukkan uang di
dalam peti persembahan biasanya diberikan orang sebagai ungkapan terima kasih
dan syukur kepada Tuhan. Itu sebabnya, orang sering datang dan membawa uang
serta hasil usaha mereka dan dipersembahkan kepada Tuhan. Di sana ada
orang-orang kaya, orang-orang kelas menengah, bahkan orang miskin sekali pun.
Mereka semua datang dan memberi kepada Tuhan. Nah, janda yang dipuji Yesus hari
ini adalah seorang miskin, bukan kelas menengah, apalagi kelas orang kaya.
Namun, ia datang juga untuk memberikan persembahan kepada Tuhan dengan segala
kekurangan dan kemiskinannya. Ia mempunyai uang dua peser saja, dan uang itu
dimasukkan semua ke dalam peti persembahan. Hal ini berbeda dengan orang lain
yang memberikan dalam jumlah yang banyak. Orang kaya memberikan dari
kelimpahannya, tetapi janda ini memberikan dari kekurangannya. Uang itu bisa
dipakai untuk membeli makanan agar bisa menopang hidupnya sendiri. Akan tetapi,
ia berbuat yang sebaliknya. Sangat mengherankan karena ia seorang janda, dan
sudah pasti bahwa ia tidak mempunyai suami yang bisa menopang hidupnya.
Peristiwa lain yang sebanding dengan
itu terjadi juga dalam masa Perjanjian Lama. Di sana, ditampilkan seorang janda
Sarfat yang dikunjungi oleh Elia. Elia mengujungi Sarfat dan ia sangat lapar
dan hendak mencari pertolongan dari orang-orang di kota itu. Sementara, kota
Sarfat waktu itu berada dalam situasi kelaparan. Elia ini bertemu dengan janda
itu dan meminta supaya diberi makan. Akan tetapi, janda itu hanya memiliki
segenggam tepung dalam tempayan dan sedikit minyak dalam buli-buli. Keadaan ini
menunjukkan bahwa janda itu juga berada dalam situasi kelaparan dan kekurangan
makanan. Keadaan ini tidak menyurutkan semangatnya untuk melayani Elia. Justru
dari kekurangan itu, ia memberi kepada Elia. Ia bersedia membuat roti agar Elia
bisa memakannya. Kekurangan janda ini terjawab setelah ia melayani Elia. Di
sana ia memperoleh kelimpahan makanan setelah memberi dari kekurangan. Seluruh
kota itu mengalami bencana kelaparan, tetapi kecuali janda ini.
Saudara-saudariku terkasih, sulit
bagi manusia untuk memberikan sesuatu kepada sesamanya ketika berada dalam ia
berada dalam keadaan kritis dan berkekurangan. Banyak sekali pembelaan yang
manusia buat untuk menghalangi tindakan memberi kepada orang lain kalau ia
sendiri berada dalam kesulitan atau kekurangan yang sama. Pikirnya, “bagaimana
mungkin saya dapat memberinya sekilo gram beras, sedangkan saya sendiri hanya
memiliki sekilo gram beras?” Atau “saya tidak punya uang lebih, sehingga tidak
bisa memberikan kepada orang lain, sebab saya mau menggunakan uang ini demi
kebutuhan saya.” Begitulah cara manusia membela diri. Ia hanya memberi kepada
orang lain kalau ia punya kelebihan dan kelimpahan akan bahan yang hendak
diberi. Maka dari itu, ia tidak dapat memberi kepada orang lain.
Saudara-saudariku terkasih, Tuhan
Yesus menegaskan sikap memberi dari kekurangan bukan dari kelebihan. Memberi
dari kelebihan atau kelimpahan itu bagus, tetapi bagi Yesus jauh lebih bagus
kalau memberi itu dari kekurangan. Apa maksudnya Yesus berkata begitu? Yesus
lebih melihat arti dan makna dari tindakan memberi itu sendiri. Memberi berarti
mengambil apa yang sedang kita miliki dan menyerahkannya kepada orang lain.
Pemberian ini haruslah disertai dengan ketulusan hati. Pemberian ini harus
diladasi dengan semangat yang rela berkorban bagi orang lain. Dan, pemberian
ini harus dilihat sebagai ungkapan syukur dan terima kasih kepada Allah sang
Pemberi Rahmat kepada manusia. Kalau kita memberi dengan ketulusan hati, dengan
semangat yang rela berkorban, dan dengan maksud ucapan syukur kepada Allah,
maka kita tidak akan memikirkan atau mempertimbangkan seberapa besar yang harus
kita berikan. Itu berarti, yang kita miliki saat ini akan gampang diberikan
kepada orang lain, meskipun sedikit jumlah dan kualitasnya. Dengan demikian,
bagi Yesus, ada nilai penting di balik ‘memberi dari kekurangan’ itu. Orang
kaya boleh memberi sebanyak-banyaknya dari kelimpahan mereka, tetapi pemberian
mereka tidak didasari atas ketulusan hati, rela berkorban dan syukur kepada
Allah. Maka, orang yang memberi atas dasar ketulusan hati dan rela berkorban serta
sebagai ucapan syukur kepada Allah adalah orang yang memberi dengan banyak. Ini
berarti, ia memberi dan mengetahui arti dan makna di balik pemberian itu. Ia
memberi tapi sekaligus mengetahui bahwa pemberian itu bernilai untuk orang
lain.
Saudara-saudariku terkasih, santo Paulus menegaskan bahwa kematian Kristus
di salib hanya terjadi satu kali untuk selama-lamanya. Kematian itu adalah
kematian yang menyelamatkan manusia dari dosa untuk selama-lamanya. Yesus
memberi diri-Nya untuk manusia supaya selamat. Ia “memberi dari kekurangan”
kepada manusia. Makna dari pemberian diri itu adalah manusia bisa berjumpa
dengan Allah di surga. Inilah makna sesungguhnya dari sebuah pemberian. Maka,
sebagai orang Katolik yang mengimani Kristus, kita pun pantas bersyukur kepada
Allah sebab kematian Kristus itu berpuncak pada keselamatan manusia. Pemberian
diri Kristus berakhir pada pembebasan dosa dari manusia. Itu sebabnya, kita pun
pantas belajar dari Kristus. Kita wajib belajar untuk memberi kepada sesama
yang memang membutuhkan pertolongan dari kita, meskipun pemberian itu
“merugikan” diri sendiri. Keuntungan dari pemberian itu tidak kita dapatkan
sekarang, tetapi nanti di dalam kerajaan surga. Inilah prinsip hidup orang
beriman.
LEMBAH BANTIK PINELENG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar