11 Oktober 2011

Transubstansiasi, Antara Fakta dan Iman

Pendahuluan
Latar Belakang
            Transubstansiasi merupakan suatu istilah yang tak jarang dijumpai di kalangan Gereja Katolik. Akan tetapi, istilah ini sendiri sepertinya belum terlalu dipahami dengan baik dan benar oleh anggota Gereja Katolik sendiri, khususnya bagi kaum awam yang secara langsung turut serta dalam perayaan Ekaristi sepanjang sejarahnya. Dalam perayaan Ekaristi, istilah Transubstansiasi ini sering diperlihatkan dalam bentuk perubahan roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus yang ditetapkannya pada dua ribu tahun yang lalu, saat Ia mengadakan perjamuan malam terakhir bersama murid-muridNya. Dalam perjamuan itu, Yesus secara langsung mengatakan kepada murid-muridNya bahwa Roti dan Anggur yang berada pada tanganNya adalah Tubuh dan DarahNya sendiri yang diberikan bagi banyak orang demi keselamatannya. Perbuatan Yesus itu hendaknya dikenangkan sepanjang masa hidup mereka yang menjadi pengikutNya. Demikianlah yang diserukan oleh Yesus sendiri ketika mengadakan perjamuan malam itu. Yesus ingin agar apa yang diperbuatNya menjadi suatu kenangan pada waktu-waktu yang akan datang, di mana hal itu dirayakan kembali demi pengenangan akan perbuatanNya itu. Lalu, apa sebenarnya yang harus dikenangkan dalam perjamuan itu? Bagaimana kita mengerti perubahan roti dan anggur menjadi tubuh dan darah-Nya? Apa maksud mengenangkan roti dan anggur menjadi tubuh dan darah-Nya dalam perjamuan itu? Berdasarkan beberapa pertanyaan ini, maka saya tertarik untuk menelusuri, apa dan bagaimana transubstansiasi itu sendiri dalam hubungannya perayaan Ekaristi.
            Adapun dalam mengkaji dan memahami persoalan transubstansiasi ini, saya membaginya menjadi beberapa bagian. Pada Bab I, saya akan menyajikan pandangan beberapa tokoh yang begitu getol (aktif) membicarakan transubstansiasi, sebagai upaya awal menelusuri jejak-jejak historis transubstansiasi. Usai membeberkan beberapa pandangan itu, maka pada Bab II saya akan menjelaskan apa dan bagaimana transusbstansiasi itu dan kedudukannya dalam Gereja Katolik serta kaitannya dengan tradisi perjamuan. Setelah itu, pada Bab III, saya akan memberikan refleksi kritis, berdasarkan informasi yang saya rangkum dari Bab I dan Bab II. Pada bagian ini juga, tak lupa saya akan menyertakan beberapa kesimpulan dan saran guna membantu umat memahami apa itu transubstansiasi.

Bab I
Menelusuri Jejak-Jejak Historis Transubstansiasi
I.     Lahirnya Istilah Transubstansiasi
Istilah transubstansiasi atau perubahan roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus dalam Ekaristi, berkembang pada abad pertengahan sekitar tahun 1400-1500, atau abad XV-XVI, ketika beberapa Dogma Gereja Katolik diserang habis-habisan oleh kaum bidaah. Salah satunya adalah dogma mengenai transubstansiasi ini. Secara historis, Bapa-bapa Gereja Perdana sebenarnya telah menegaskan perubahan roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus dalam Ekaristi. Namun, mereka tidak menggunakan atau menyebut istilah transubstansiasi secara spesifik dalam tulisan-tulisan mereka. Mereka hanya menggunakan kalimat ‘roti dan anggur menjadi tubuh dan darah-Nya’
Adapun dasar persoalan yang memicu munculnya perdebatan sengit tentang transubstansiasi ini yakni dalam upaya untuk menjelaskan kehadiran nyata Kristus (Realis Praesentia) dalam Ekaristi. Bagaimana terjadi kehadiran nyata itu? Apakah Kristus hadir secara jasmani? Dan jika Ia hadir secara rohani, bagaimana kita bisa melihat-Nya? Tiga pertanyaan itu, mungkin bisa mewakili pertanyaan-pertanyaan esensial lainnya yang dikumandangkan kaum-kaum bidaah dalam melawan ajaran Gereja Katolik tentang realis praesentia Kristus dalam Ekaristi. Akan tetapi, hal ini semakin diperumit lagi, ketika mereka mengkritik ajaran tentang perubahan roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus atau Transubstansiasi. Dari sinilah istilah transubstansiasi menjadi populer dan akhirnya menyebabkan perdebatan yang cukup hebat saat itu. Inilah bingkai di mana persoalan mengenai transubstansiasi terletak atau berada[1].
Jika sekarang ada orang berkata bahwa doktrin tentang kehadiran Yesus dalam rupa roti dan anggur itu sepertinya tidak mungkin, maka sesungguhnya sejak zaman jemaat awal pun, banyak orang juga berpendapat demikian. Hal ini dituliskan di Alkitab, yaitu bahwa sejak saat Yesus mengajarkan hal Roti Hidup ini, banyak orang tidak percaya dan meninggalkan Dia[2].
Tentu, jika maksud Yesus hanya mengajarkan bahwa roti itu hanya melambangkan Tubuh-Nya dan anggur itu hanya melambangkan Darah-Nya, Ia tentu dapat mengatakan demikian, “Di dalam roti ini adalah Tubuh-Ku”, atau “Roti ini adalah Tubuh-Ku.” Namun Yesus tidak berkata demikian, sebab Ia dengan jelas berkata, “Inilah Tubuh-Ku[3]. Maka, Tradisi Gereja Katolik mengartikan ayat ini secara literal bahwa maksud Yesus adalah: “Ini, substansi ini, yang tadinya roti, sekarang menjadi Tubuh-Ku.” Banyak dari para pengikut Kristus sejak awal menganggap perkataan-Nya ini sulit dimengerti. Namun faktanya, walaupun demikian, Gereja Katolik tetap memegang teguh ajaran ini selama banyak generasi. Ini adalah suatu bukti yang kuat bahwa ajaran ini berasal dari Allah sendiri, sebab jika tidak, ajaran ini tidak mungkin langgeng dan tidak mungkin dipercayai oleh umat yang tersebar di seluruh dunia[4]. Jadi, secara langsung, Gereja Katolik menegaskan bahwa, roti dan anggur adalah tubuh dan darah Kristus dalam Ekaristi. Seperti yang ditegaskan dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) :
·         KGK 1375 : Kristus hadir di dalam Sakramen ini oleh perubahan roti dan anggur menjadi tubuh dan darah-Nya. Bapa-bapa Gereja menekankan dengan tegas iman Gereja, bahwa Sabda Kristus dan kuasa Roh Kudus bekerja begitu kuat, sehingga mereka dapat melaksanakan perubahan ini. Santo Yohanes Krisostomus menjelaskan:“Bukan manusia yang menyebabkan bahwa bahan persembahan menjadi tubuh dan darah Kristus, melainkan Kristus sendiri yang telah disalibkan untuk kita. Imam yang mewakili Kristus, mengucapkan kata-kata ini, tetapi daya kerjanya dan rahmat datang dari Allah. Inilah tubuh-Ku, demikian ia berkata. Kata-kata ini mengubah bahan persembahan itu.Santo Ambrosius mengatakan tentang perubahan ini:“Di sini terdapat sesuatu yang tidak dibentuk alam, tetapi yang dikonsekrir dengan berkat, dan daya guna berkat itu melampaui kodrat, malahan kodrat itu sendiri diubah melalui berkat… Bukankah Kristus, yang dapat menciptakan yang belum ada dari ketidakadaan, dapat mengubah yang ada ke dalam sesuatu, yang sebelumnya tidak ada? Menciptakan hal baru, tidak lebih gampang daripada mengubah kodrat”.
·         KGK 1376 : Konsili Trente menyimpulkan iman Katolik, dengan menjelaskan: “Karena Kristus Penebus kita mengatakan bahwa apa yang Ia persembahkan dalam rupa roti adalah benar-benar tubuh-Nya, maka di dalam Gereja Allah selalu dipegang teguh keyakinan ini, dan konsili suci ini menjelaskannya kembali: oleh konsekrasi roti dan anggur terjadilah perubahan seluruh substansi roti ke dalam substansi tubuh Kristus, Tuhan kita, danseluruh substansi anggur ke dalam substansi darah-Nya. Perubahan ini oleh Gereja Katolik dinamakan secara tepat dan dalam arti yang sesungguhnya perubahan hakiki transubstansiasi” (DS: 1642)[5].
·         KGK 1377 Kehadiran Kristus dalam Ekaristi mulai dari saat konsekrasi dan berlangsung selama rupa Ekaristi ada. Di dalam setiap rupa dan di dalam setiap bagiannya tercakup seluruh Kristus, sehingga pemecahan roti tidak membagi Kristus.[6]

Berkaitan dengan penegasan Gereja Katolik akan transubstansiasi ini, ada beberapa tokoh yang sangat aktif melancarkan kritik atas ajaran tersebut. Diantaranya Marthin Luther, Johanes Calvin, Ulrich Zwingli dan Menno Simmons. Apa dan bagaimanakah pandangan mereka, akan dijelaskan pada bagian berikut ini.   

II.  Beberapa Kritik atas Ajaran Transubstansiasi
1.    Marthin Luther (1483-1546)
Martin Luther, pendiri Reformasi Protestan, adalah seorang imam Katolik Roma yang muak dengan penyalahgunaan Gereja Katolik Roma dan ingin untuk mereformasi Gereja sehingga bisa sekali lagi kembali ke akar aslinya. Dengan demikian, ia belajar semua tentang doktrin transubstansiasi dalam pelatihan teologis, dan itu menjadi sistem keyakinannya karena, sebagai seorang imam, ia merayakan Misa berkali-kali dan dogma transubstansiasi adalah pusat dan sekaligus puncak ajaran teologis Gereja Katolik Roma.
Observasi teologis pun dilakukan Luther dengan keyakinan, unsur-unsur massa, roti dan anggur, bisa diperiksa dalam cahaya kitab suci[7]. Jadi, bukannya transubstansiasi, sebuah doktrin yang harus diambil pada iman saja karena menurutnya tidak ada perubahan nyata hadir dalam roti dan anggur, doktrin konsubstansiasi dirumuskan untuk menjelaskan apa yang terjadi pada roti dan anggur dan mengapa tidak ada perubahan fisik yang nyata untuk elemen-elemen dasar.
Menurutnya, justru konsubstansiasi-lah yang paling tepat. Konsubstansiasi adalah pandangan bahwa roti dan anggur Komuni (Perjamuan Tuhan) yang secara rohani dipandang sebagai daging dan darah Yesus, dalam ajaran Gereja Katolik tidak mengalami perubahan secara langsung secara fisik. Roti dan anggur itu tetap roti dan anggur sebenarnya. Konsubstansiasi dasarnya mengajarkan bahwa Yesus adalah "dengan, dalam, dan di bawah" roti dan anggur, tetapi tidak secara harfiah roti dan anggur. Perubahan dari Trans-pada Con-adalah kunci untuk melihat roti dan anggur sebagai tubuh dan darah Yesus. Awalan Trans-mengatakan bahwa perubahan terjadi, roti benar-benar menjadi tubuh Yesus dan anggur benar-benar menjadi darah Yesus. Awalan Con-mengatakan bahwa roti tidak menjadi tubuh Yesus, tetapi bersama-ada dengan roti fisik sehingga roti baik roti dan tubuh Yesus. Hal yang sama berlaku anggur. Itu tidak menjadi darah Yesus, tetapi bersama-ada dengan anggur sehingga anggur adalah baik anggur dan darah Yesus.
Luther berpendapat demikian karena ia mengambil analogi Inkarnasi, yaitu bahwa Tuhan Yesus mengambil rupa manusia, dan karena Ke-Tuhanan-Nya yang omnipresent, maka kemanusiaan-Nya juga dapat hadir di mana-mana, yang dikenal sebagai ubiquitism. Semoga tidak ada yang tersinggung jika kita mengatakan, bahwa sesungguhnya pengajaran ini sulit diterima akal, karena itu sama saja denganmengatakan bahwa kehadiran-Nya dalam hosti kudus, sama saja dengan kehadiran-Nya dalam semua makanan dan benda-benda yang lain. Ajaran ini sepertinya mencampur-adukkan hal yang suci dan yang profan, antara sakramen dan yang bukan sakramen. Hal ini sebenarnya bertentangan dengan self-evident principle, (prinsip yang tak perlu dibuktikan kebenarannya), yaitu “sesuatu tidak dapat menjadi dan tidak menjadi dalam waktu yang sama dan dengan cara yang sama.” Mungkin karena sulitnya prinsip ini diterima secara umum, maka terdapat banyak pendapat yang saling bertentangan bahkan di kalangan gereja-gereja Protestan sendiri[8].

2.    Ulrich Zwingli (1483- 1531)
Anamnesis
Pandangan ini dicetuskan oleh Zwingli. Menurutnya, Perjamuan Kudus lebih sebagai semacam peringatan akan Kristus saat menderita dan mati. Zwingli memahami kata-kata Yesus, ”inilah tubuh-Ku” dan ”inilah darah-Ku” sebagai ungkapan-ungkapan yang tidak harus dimengerti secara harafiah. ”Tubuh” dan ”darah” adalah lambang untuk keselamatan yang diperoleh Kristus dengan tubuh dan darah-Nya pada kayu salib. Zwingli tidak dapat menerima bahwa keselamatan, yang terutama menyangkut jiwa, dikaitkan dengan hal-hal duniawi, seperti roti dan anggur. Dan untuk menerima apa yang diperoleh Kristus pada kayu salib, seseorang tak perlu dipersatukan secara jasmani karena penebusan yang dilambangkan dalam Perjamuan Kudus diterima dengan iman[9]. Dalam hal ini, Zwingli tidak menyangkal kehadiran Yesus saat perayaan Perjamuan Kudus. Hanya saja, kehadiran ini bukan kehadiran jasmani, melainkan kehadiran dalam Roh Kudus dan tidak terikat pada roti dan anggur[10].

3.    Johanes Calvin (1509- 1564)
Melihat kedua pandangan di atas, John Calvin kemudian mengambil jalan tengah antara Luther dan Zwingli, dengan mengatakan bahwa kehadiran Yesus di dalam rupa roti dan anggur itu merupakan kehadiran yang nyata, namun hanya spiritual, bukan secara badani. Jadi roti itu bukan sungguh-sungguh Tubuh Yesus, dan anggur itu bukan Darah Yesus, namun Yesus secara spiritual hadir di dalamnya. Maka bagi Calvin, komuni bukanlah persatuan dengan Tubuh Kristus secara literal, tetapi hanya secara spiritual dengan iman. Oleh karena itu, Calvin serupa dengan Melancthon, murid Luther, yang mengatakan bahwa, kehadiran Kristus tidak tergantung dari perkataan konsekrasi yang diucapkan oleh imam yang bicara atas nama Kristus, melainkan tergantung dari iman pribadi yang menerima komuni.
Sebenarnya, jika kita kembali kepada teks Alkitab, kita tidak dapat menemukan dasar bahwa kehadiran Yesus ‘tergantung dari iman pribadi yang menerimanya’. Sebab Yesus hanya berkata dengan jelas dan sederhana, “Inilah Tubuh-Ku…” Dan Gereja Katolik percaya bahwa Sabda-Nya yang berkuasa membuat-Nya menjelma menjadi manusia (lih Yoh 1:14), juga berkuasa mengubah substansi roti itu menjadi Tubuh-Nya. Maka setelah konsekrasi, sepanjang roti itu berupa roti, dan belum terurai menjadi rupa yang lain (rusak secara natural, atau dicerna tubuh manusia), maka Yesus hadir secara nyata oleh kuasa Roh Kudus-Nya[11].
Calvin bertanya lebih lanjut.Bila Perjamuan Kudus dilihat sebagai kehadiran Kristus bersatu dengan kita, kenapa Perjamuan Kudus tidak berpengaruh apa-apa dalam kehidupan kita sebagai orang Kristen? Calvin mengatakan bahwa roti dan anggur itu menjadi makanan dan minuman rohani. Namun, kenapa kita tidak merasakan apa-apa? Tidak merasa lapar atau haus, juga tidak merasa kenyang atau dahaga? Ini berarti kita salah dalam melakukannya. (Hal ini jadi sama seperti halnya doa: kita tidak mendapat apa-apa karena kita salah berdoa.) Kalau kita mengikuti Perjamuan Kudus dan tidak mengimaninya, Perjamuan Kudus itu menjadi tidak ada apa-apanya bagi kita. Malahan itu menjadi semacam hukuman bagi kita. Ternyata Luther juga memiliki sedikit persamaan dengan pemahaman ini. Bagi Luther, Perjamuan Kudus itu bisa diikuti bahkan oleh orang-orang tidak percaya sekalipun. Dan karena dalam Perjamuan Kudus itu Kristus juga hadir, kehadiran-Nya bagi orang tidak percaya bukan untuk keselamatan, melainkan untuk hukuman.] Pertanyaannya, adakah keinginan dan kerinduan dalam diri kita untuk ikut Perjamuan Kudus karena ingin bertemu Kristus di situ? Jawaban sederhana yang diusulkan Calvin yaitu lakukan Perjamuan Kudus dengan iman yang memandang pada Kristus sehingga terjadi perjumpaan dan kesatuan mistis dengan Kristus[12].

4.    Menno Simmons (1496-1561) Pendiri Gereja Menonit[13]
Ajaran Katolik tentang transubstansiasi menyatakan bahwa ketika roti dan anggur diberkati, kedua elemen itu sungguh-sungguh berubah menjadi tubuh dan darah Yesus. Simmons setuju dengan para Reformator lainnya bahwa elemen-elemen itu “mewakili” namun tidak sungguh-sungguh “berubah” menjadi tubuh dan darah Kristus. Persetujuan ini tentu saja sangat beralasan. Simmons meyakini perubahan yang terjadi dalam roti dan anggur itu ketika perjamuan, bukanlah perubahan dalam arti fisik, melainkan perubahan dalam arti rohani. Secara substansial, roti dan anggur tetaplah roti dan anggur, sesuai yang kita lihat secara nyata. Namun, yang diyakini adalah roti dan anggur tersebut menjadi tubuh dan darah Kristus. Kristus yang hadir adalah Kristus yang rohani, dan bukan Kristus yang hadir secara fisik dalam roti dan anggur itu.
III.        Tanggapan Gereja Katolik
III.1. Apologia Bagian Pertama; Kritik Pedas Gereja Katolik Terhadap Pandangan Para Reformator
Ø  Konsili Trente[14] :
Gereja Katolik melalui Konsili Trente (1564) menolak posisi Luther maupun Calvin, dengan menetapkan sebagai berikut:
Ø  Session 13, kanon 2, menyatakan bahwa konsubstansiasi sebagai doktrin yang keliru:
“Barang siapa berkata bahwa substansi roti dan anggur tetap ada di dalam sakramen Ekaristi yang kudus, bersamaan dengan Tubuh dan Darah Yesus, dan menolak perubahan yang ajaib dan tunggal menjadi keseluruhan substansi roti menjadi Tubuh Kristus dan keseluruhan anggur menjadi Darah Yesus, dan rupa luar dari roti dan anggur saja yang tertinggal, seperti yang disebut oleh Gereja Katolik sebagai transubstansiasi: biarlah dia menjadi anathema (terkutuk).”
Ø  Session 13, kanon 4, menentang bahwa kehadiran Yesus disebabkan oleh keyakinan pribadi:
“Barang siapa berkata bahwa setelah konsekrasi Tubuh dan Darah Tuhan Yesus tidak hadir di dalam sakramen Ekaristi, tetapi hanya hadir di dalam efek sakramen pada saat itu diterima, dan tidak sebelumnya atau sesudahnya; dan bahwa Tubuh Yesus yang nyata tidak tetap tinggal dalam Hosti yang telah dikonsekrasikan, atau di dalam partikel-partikelnya yang disimpan atau ditinggalkan setelah komuni: biarlah ia menjadi anathema.”
Ø  Session 22, bab 2, menyatakan kesamaan kurban Ekaristi dengan kurban salib Kristus:
“Kurbannya adalah satu dan sama; Pribadi yang sama mempersembahkannya dengan pelayanan para imam-Nya, Ia yang mempersembahkan Diri-Nya di salib, hanya saja cara mempersembahkannya saja yang berbeda.” Maka kurban Misa adalah sama dengan kurban salib Yesus di Golgota, sebab kurban itu menyangkut Pribadi yang sama, yang dikurbankan oleh Imam Agung yang sama, yaitu Yesus Kristus, melalui pelayanan sakramental dari para imam-Nya yang ditahbiskan dan bertindak dalam nama Kristus/ ‘in persona Christi.’
III.2. Apologia Bagian Kedua : Menghempas Tirani Rasionalisasi Kaum Bidaah
Ø  Konsili Vatikan II[15] dan Katekismus Gereja Katolik
Konsili Vatikan II dan Katekismus Gereja Katolik yang disusun untuk menjabarkan doktrin dengan semangat Konsili tersebut mengajarkan pentingnya Ekaristi dalam kehidupan umat beriman, karena di dalamnya terkandung seluruh ‘harta’ spiritual Gereja, yaitu Kristus sendiri. Oleh karena itu, Ekaristi dikatakan sebagai “sumber dan puncak kehidupan Kristiani”.
Ø  KGK 1324 Ekaristi adalah “sumber dan puncak seluruh hidup kristiani” (LG 11). “Sakramen-sakramen lainnya, begitu pula semua pelayanan gerejani serta karya kerasulan, berhubungan erat dengan Ekaristi suci dan terarahkan kepadanya. Sebab dalam Ekaristi suci tercakuplah seluruh kekayaan rohani Gereja, yakni Kristus sendiri, sumber Paskah kita” (PO 5).
Ø  Konsili Vatikan II memakai suatu istilah Yunani kuno untuk Ekaristi, yakni Synaxis (LG 11 dan 28; PO 5 dan 7)[16]. Istilah Ekaristi sebagai sumber dan puncak yang dipakai Konsili Vatikan II dapat memberi kesan seolah-olah hanya umat yang merayakan Ekaristi sungguh umat Allah. Sabda Kristus, “Di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat 18:20). Yang dimaksudkan Konsili ialah bahwa dalam Ekaristi misteri wafat dan kebangkitan Kristus, yang merupakan sumber seluruh hidup kristiani, dirayakan dengan paling meriah dan paling resmi[17].  

Dengan melihat uraian di atas, maka kita melihat betapa doktrin Ekaristi (kehadiran Kristus yang nyata di dalamnya karena Transubstansiasi) yang diajarkan oleh Gereja Katolik mempunyai dasar yang teguh, sebab telah berakar dari Tradisi para rasul dan para Bapa Gereja. Jika pengertian kita tidak demikian, maka itu sama saja kita menilai bahwa para rasul dan para Bapa Gereja dan seluruh Gereja itu selama berabad- abad telah ‘salah pengertian’. Mungkin inilah yang ada di pikiran para Reformer seperti Luther, Calvin, Zwingli, dan Simmons. Tetapi akibatnya, begitu mereka menginterpretasikan sendiri ayat Alkitab dan beberapa perkataan Bapa Gereja tanpa melihat konteksnya, maka akhirnya mereka bertentangan sendiri, karena memegang pengertian yang berbeda-beda. Ironisnya, mereka sama-sama meng-klaim bahwa mereka mengartikan ayat Alkitab yang sama, yaitu perkataan Yesus, “Inilah Tubuh-Ku…” Mari kita berhenti sejenak, dan merenungkan ayat tersebut. Biarlah dengan kesederhanaan iman dan kerendahan hati, kita dapat percaya dan mengimani, bahwa memang Kristuslah yang mengubah apa yang nampak sebagai roti itu menjadi sungguh-sungguh Tubuh-Nya sendiri, sehingga yang dipegang-Nya itu bukan roti lagi, walaupun rupanya tetap roti. Kuasa mengubah roti menjadi anggur ini tidak diberikan kepada semua orang, tetapi hanya kepada para rasul-Nya, yang kemudian diteruskan kepada para penerus mereka, yaitu, para imam-Nya melalui tahbisan suci. Dengan demikian Ekaristi juga berkaitan dengan Tahbisan Suci. Tangan-tangan yang telah diurapilah yang diberi kuasa Roh Kudus untuk bertindak atas nama Kristus, untuk melakukan mukjizat yang sangat agung ini. Sekarang tergantung kita, maukah kita belajar memahami dan menghayati cara Tuhan mengasihi kita, ataukah kita lebih memilih cara kita sendiri untuk merasakan kasih Tuhan? Pertanyaan inilah yang mestinya harus direfleksikan lebih dalam oleh para kaum bidaah, menyangkut transubstansiasi ini.


Bab II
Transubstansiasi Antara Fakta Kanibalisme dan Iman
Luk 22:17-20
“Kemudian Ia mengambil sebuah cawan, mengucap syukur, lalu berkata: "Ambillah ini dan bagikanlah di antara kamu. Sebab Aku berkata kepada kamu: mulai dari sekarang ini Aku tidak akan minum lagi hasil pokok anggur sampai Kerajaan Allah telah datang."Lalu Ia mengambil roti, mengucap syukur, memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka, kata-Nya: "Inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku." Demikian juga dibuat-Nya dengan cawan sesudah makan; Ia berkata: "Cawan ini adalah perjanjian baru oleh darah-Ku, yang ditumpahkan bagi kamu.”[18]

Kutipan teks Kitab Suci di atas menegaskan bahwa Yesus adalah Roti Hidup yang akan menjadi santapan bagi jiwa manusia. Sebuah pesan mesianik yang akhirnya menjadi nyata dalam penebusan-Nya di kayu salib. Tubuh dan Darah-Nya menjadi kurban silih atas dosa-dosa manusia, yang sebelumnya telah disampaikan dalam Perjamuan Terakhir. Roti dan anggur yang diberikan-Nya kepada para murid, adalah tubuh dan darah-Nya sendiri, sehingga Ia bersabda perbuatlah ini sebagai kenangan akan Daku. Roti itu adalah roti, hasil jerih payah manusia, begitu juga dengan anggur yang digenggam-Nya saat perjamuan itu. Akan tetapi…
 “Those who believe in him must eat his flesh and drink his blood, not literally, but symbollicaly and sacramentally, in the rite he gave the church. Through faith in him and partaking of him they would live forever, for union with him means salvation”.[19]
Berdasar pada Sabda kudus ini, maka pertanyaan yang patut saya sodorkan Bagaimana kita mengerti transubstansiasi ini dalam Ekaristi atau perjamuan kudus? Jika roti dan anggur itu berubah menjadi tubuh dan darah Kristus, dan mengharuskan kita menyantapnya, maka apakah ini bukan tindakan kanibalisme? Simak pembahasannya pada bagian berikut ini.
·         Transubstansiasi Sebagai Sebuah Fakta Kanibalisme?
Pertanyaan yang patut direfleksikan adalah, jika tubuh dan darah Kristus benar-benar menjadi nyata dalam Ekaristi, haruskah kita santap? Apakah ini bukan tindakan kanibalisme? Kehadiran yang bagaimanakah yang harus kita mengerti? Menjawab pertanyaan ini, patut ditegaskan bahwa Kanibalisme tidak sesuai dengan ajaran umum dalam Kitab Suci, maka tak mungkin Kristus memberi arti yang harfiah/literal pada perkataan ini. Lagi pula, dalam PL dengan jelas melarang minum darah (Im 17:10). Konsili gereja yg pertama di Yerusalem mengesahkan larangan ini (Kis 15:29). Sama seperti Bapa yang hidup mengutus Aku dan Aku hidup oleh Bapa, demikian juga barangsiapa yang memakan Aku, akan hidup oleh Aku. Inilah roti yang telah turun dari sorga, bukan roti seperti yang dimakan nenek moyangmu dan mereka telah mati. Barangsiapa makan roti ini, ia akan hidup selama-lamanya."
Bagaimanakah kita akan memakan Kristus? Sama seperti ia hidup oleh hubungan-Nya dengan Bapa, demikian juga kita harus hidup oleh Dia. Kristus adalah makanan bagi jiwa. Ia adalah roti dan air bagi orang yang miskin secara rohani. Supaya kita tidak salah mengerti maksud-Nya, satu paragraf kemudian Kristus berkata, “rohlah yang memberi hidup, daging sama sekali tidak berguna”[20].
Doktrin tentang kehadiran yang sesungguhnya berarti bahwa tubuh dan darah Kristus entah bagaimana telah menyatu dengan unsur-unsur itu. Ketika Kristus diperingati dalam Perjamuan Tuhan, Ia hadir di antara umat-Nya yang mengambil bagian dalam penebusan. Sebagian menganggapnya sebagai memberi makan kepada tubuh; yang lainnya percaya bahwa itu adalah simbolis[21].
Misalnya, Agustinus, berbicara tentang roti dan anggur sebagai tubuh dan darah Kristus, tetapi pada saat yang sama dengan jelas ia membedakan antara lambang dan hal yang dilambangkan. Dengan kata lain, ia menegaskan bahwa substansi itu sendiri tidak berubah. Baginya, memakan tubuh Kristus adalah Tindakan yang Simbolis. Berkhof menuliskan,“Ia menekankan aspek peringatan dari upacara tersebut dan menegaskan bahwa orang fasik, kendati mereka mungkin menerima unsur-unsur itu, tidak mengambil bagian dari tubuh. Ia bahkan menentang penghormatan yang bersifat takhayul/mistik yang diberikan terhadap upacara tersebut oleh banyak orang pada zamannya.
Ringkasnya, persetujuan umum keyakinan Gereja Katolik mengarah pada pandangan yang realistis tentang unsur-unsur Perjamuan Tuhan itu: Kristus secara rohani hadir di dalam roti dan anggur.Mengambil bagian dalam Perjamuan Tuhan ialah memakan tubuh dan darah Kristus, tetapi sekali lagibukan dalam arti harafiah/literal[22].

·         Transubstansiasi dalam Kaca Mata Iman
Melalui Konsili Trente, Gereja mengajarkan bahwa dalam Ekaristi yang mahakudus, secara sungguh,real, dan substansial ada tubuh dan darah Tuhan Yesus Kristus, bersama dengan jiwa dan keallahan-Nya. Kehadiran Kristus dalam Ekaristi disebabkan oleh perubahan seluruh substansi roti dan anggur menjadi substansi tubuh dan darah. Yang tinggal kasat mata hanya rupa roti dan anggur saja. Gereja menyebut perubahan ini dengan istilah “transubstansiasi” (DS* 1651, 1652). Peristiwa ini terjadi waktu konsekrasi dalam perayaan Ekaristi. Bagaimana kehadiran itu terjadi tidak dijelaskan. Keterbatasan bahasa manusia tidak memungkinkan pengungkapan misteri iman ini. Istilah “transubstansiasi” hanya menerangkan bagaimana kehadiran Kristus dapat dipikirkan ketika roti dan anggur dikonsekrasi, bukan bagaimana cara terjadinya[23].
Dalam bahasa sehari-hari, kita menyebut “lambang” sebagai sesuatu yang menunjuk sesuatu yang lain yang lebih tinggi, seringkali menunjuk beberapa fakta sekaligus. Roti dan anggur yang telah dikonsekrir menjadi Tubuh dan Darah Kristus bukan sekedar lambang belaka, karena roti dan anggur sungguh telah menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Seperti yang ditulis oleh St. Yohanes dari Damaskus: “Roti dan anggur bukan melambangkan Tubuh dan Darah Kristus - Sama sekali tidak! - melainkan sungguh Tubuh Kristus yang Kudus, oleh sebab Kristus Sendiri mengatakan: 'Inilah Tubuh-Ku'; dan bukannya 'Ini melambangkan Tubuh-Ku' melainkan 'Tubuh-Ku,' dan bukan 'melambangkan Darah-Ku' melainkan 'Darah-Ku'” (The Orthodox Faith, IV [PG 94, 1148-49]).
Namun demikian, pada saat yang sama, amatlah penting untuk memahami bahwa Tubuh dan Darah Kristus ada di tengah kita dalam Ekaristi secara sakramental. Dengan kata lain, Kristus hadir dalam rupa roti dan anggur, bukan dalam wujud-Nya yang sebenarnya. Kita tidak bisa mengandaikan dapat memahami segala alasan dibalik karya Allah. Tetapi, Tuhan mempergunakan lambang-lambang yang sesuai dengan makan roti dan minum anggur pada tingkat yang lazim untuk menerangkan arti akan apa yang telah dipenuhi dalam Ekaristi melalui Yesus Kristus.Oleh sebab itu, roti dan anggur menunjukkan, baik persekutuan di antara mereka yang ikut ambil bagian dalam Tubuh Kristus maupun penderitaan yang dialami Kristus, penderitaan yang harus pula dipikul oleh para pengikut-Nya. Masih banyak lagi yang dapat dikatakan tentang bermacam cara bagaimana makan roti dan minum anggur melambangkan apa yang Tuhan lakukan bagi kita melalui Kristus, sebab lambang-lambang mengandung banyak arti dan konotasi[24]. Roti dan anggur itu sungguh tubuh dan darah Kristus, sebab Ia sendirilah yang mengatakannya, dan bukan dikatakan-Nya sebagai lambang.

Bab III
Refleksi Kritis
1.    Transubstansiasi Sebagai Pesan Mesianik
Tindakan profetis Yesus
Beberapa jam sebelum pengorbanan diri-Nya di Gunung Kalvari, Yesus melakukan beberapa tindakan dan mengucapkan beberapa kata, yaitu mengambil roti, mengucap syukur, memecah roti dan membagikannya, kemudian mengambil cawan anggur dan dituangkan-Nya cawan itu untuk diminum. Tindakan-tindakan serupa, menurut tradisi biblis, bermaksud mengantisipasi dan menghadirkan sebuah peristiwa yang masih akan terjadi serta membangun suatu kaitan antara tindakan simbolis itu dengan kenyataan atau peristiwa yang dirujuk yaitu pemberian diri-Nya secara sukarela pada kematian di atas salib. Dengan kata lain, karena sadar akan kenyataan yang akan terjadi, Yesus melakukan tindakan profetis untuk mengantisipasi dan mengungkapkan diri dengan tindakan dan kata, kenyataan yang akan dihadapi-Nya, yaitu sengsara dan wafat-Nya. Ini sekaligus menjadi pesan mesianik, yang dibawa oleh-Nya.
Kata-kata penafsiran yang diucapkan Yesus atas roti dan anggur menyatakan kehadiran Yesus dalam roti dan anggur yang diberikan kepada para rasul. Maka roti yang dipecah berarti tubuh-Nya yang dikurbankan, dan cawan, pada waktu anggur dituangkan, adalah penumpahan darah-Nya. Inilah penyerahan diri Yesus. Kematiannya memiliki arti tertentu yang pasti yaitu bahwa Dia secara sukarela akan mati untuk murid-murid-Nya dan untuk semua manusia. Maka jiwa peristiwa itu dihadirkan kembali, roti akan berarti tubuh-Nya: “Inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu” dan cawan akan berarti Perjanjian Baru yang abadi dalam darah-Nya: “Cawan ini adalah perjanjian baru oleh darah-Ku.”

Undangan untuk mengambil bagian dalam perjamuan
Undangan ini terungkap dalam kata-kata Yesus sendiri: “ambillah dan makanlah” dan “ambillah dan minumlah.” Undangan untuk makan tubuh-Nya dan minum darah-Nya berarti undangan kepada peserta perjamuan itu untuk menyatukan diri dengan kematian-Nya dan membuat mereka masuk dalam Perjanjian Baru. Yesus menghubungkan para murid dengan tindakan profetis yang menghadirkan kematian-Nya dan mendasari perjanjian. Hal ini merupakan awal dari sebuah komunitas persekutuan. Dengan mengambil bagian dalam perjamuan itu, orang-orang Kristiani menyatukan diri dengan Kristus secara pribadi dan diselamatkan, dibebaskan dari perbudakan dosa dan membangun perjanjian dengan Allah. Persatuan dengan Yesus ini tidak terlepas dari iman. Hanya dengan menghayati Ekaristi dalam semangat iman maka menyantap tubuh dan darah Kristus mempunyai arti. Kesatuan fisik dengan Kristus dalam rupa roti dan anggur tidak menjamin keselamatan. Sehingga hanya bila disertai iman, Ekaristi mempunyai arti.

Perintah untuk mengulangi
Perintah ini diungkapkan satu kali dalam Injil Lukas dan dua kali dalam surat Rasul Paulus kepada jemaat di Korintus yaitu diungkapkan dengan kata-kata: “Lakukanlah ini sebagai kenangan akan Daku.” Kata-kata Yesus ini merupakan pelemba-gaan suatu penyembahan kepada Allah yang dihadirkan kembali di masa mendatang oleh para Rasul dan oleh Gereja. Penghadiran kembali itu harus dilakukan sebagai kenangan akan Dia atau merupakan cara terbaik untuk menghadirkan kembali Yesus. Kenangan di sini bukanlah dalam arti psikologis, tetapi lebih dalam arti menghadirkan kembali secara nyata. Jika para murid melakukan apa yang telah dilakukan Yesus di dunia, yaitu saling mencintai sampai saling memberikan diri satu sama lain maka Yesus kembali hadir secara konkrit dan riil. Semua yang dilakukan Yesus itu dihadirkan kembali dalam tindakan liturgis supaya semua bisa mengambil bagian dalam kepenuhan di masa mendatang, dalam penantian akan kedatangan-Nya kembali.

Ekaristi mengingatkan kita akan perjanjian cinta kasih antara Allah dan manusia serta perintah-Nya untuk mencintai dan melayani sesama
Yesus memecahkan roti sebagai simbol kehidupan abadi yang akan Dia berikan kepada kita dan Ia menuangkan anggur sebagai simbol penyelamatan kita oleh Darah-Nya yang tercurah. Suatu perjanjian meminta tanggapan. Maka Ekaristi mengingatkan kita agar kita memecah-mecah diri kita dan mencurahkan hidup kita, artinya kita harus mengatasi egoisme kita dan melayani sesama sebagaimana Yesus melayani kita. Pada akhir Misa kita diutus sebagaimana Yesus diutus Bapa untuk mewartakan Kabar Gembira[25].

2.    Memandang Kehadiran Tuhan Secara Nyata dalam Iman
Sebuah Perbandingan Doktrin Transubstansiasi menurut Gereja Katolik, Luther, Calvin dan Zwingli dan Simmons.
Gereja Katolik, mengambil dasar dari Alkitab dan pengajaran para Bapa Gereja, mengajarkan apa yang disebut sebagai Transubstansiasi, yaitu, pada saat selesainya diucapkan konsekrasi, substansi roti dan anggur diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus, walaupun rupa luarnya tetap sebagai roti dan anggur. Jadi prinsipnya:
Saat konsekrasi, pada saat roti dan anggur diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus, maka Kristus pada saat itu sungguh-sungguh hadir secara nyata dengan Tubuh dan Darah-Nya pada roti dan anggur itu. Itulah sebabnya kita harus dengan penuh hormat menyambutNya. Itu pulalah sebabnya kita menghormati Sakramen Maha Kudus, sebab kita percaya bahwa hosti yang telah dikonsekrasikan itu sudah bukan hosti lagi tetapi sungguh-sungguh Tubuh Kristus.
Oleh sebab itu dikatakan bahwa Misa Kudus adalah kurban Kristus, yang dilakukan oleh Gereja, untuk memperingati pengorbanan-Nya sesuai dengan pesan-Nya. Pada saat misa, Tubuh dan Darah Kristus yang satu dan sama itu dihadirkan kembali oleh kuasa Roh Kudus untuk menjadi korban penebus dosa kita manusia.
Maka setelah konsekrasi, hanya substansi roti dan anggur-nya saja yang berubah, sedangkan accidents/ penampilan luarnya tetap. Untuk mengerti konsep ini memang diperlukan pengertian filosofis, yaitu bahwa pada setiap benda, kita mengenal adanya substansi dan accidents. Misalnya, hakekat kita manusia adalah mahluk ciptaan Allah yang terdiri tubuh dan jiwa, yang punya ratio dan kehendak bebas, sedangkan accidents-nya adalah warna kulit, bangsa, tinggi/ berat badan, dst. Jika kita mencampur adukkan kedua hal ini (substansi dan accidents) maka akan sulit bagi kita untuk memahami konsep Transubstansiasi ini. Sebab setelah transubsansiasi, maka yang nampak sebagai hosti sudah bukan hosti lagi, karena substansinya telah berubah menjadi Tubuh Kristus, sedangkan accidents-nya tetap sama, yaitu dalam rupa roti dan anggur.
Martin Luther tidak membedakan antara substansi dan accidents, maka ia mengajarkan konsep kehadiran Yesus yang disebut sebagai Consubstantion/ Companation. Ia mengatakan bahwa setelah didoakan dengan Sabda Tuhan, maka Kristus hadir secara nyata di dalam roti dan anggur itu bersamaan dengan roti dan anggur itu sendiri. Jadi, menurut Luther, pada roti itu adalah benar-benar Tubuh Kristus, dan Darah Kristus, tetapi juga tetap roti dan anggur biasa. Dalam hal ini, Luther tidak mengartikan ayat, “Inilah Tubuh-Ku” secara literal [padahal pada umumnya ia sangat mementingkan arti literal Alkitab]. Sebaliknya, ia mengartikannya secara figuratif, seolah Yesus mengatakan, “Di dalam dan bersama roti ini adalah Tubuh-Ku”. Maka, dengan kata lain, Luther mengartikan bahwa dalam benda yang sama itu substansinya ada dua: roti sekaligus Tubuh Kristus; dan anggur sekaligus juga Darah Kristus.
Selanjutnya mari kita melihat posisi ekstrim yang dianut oleh Ulrich Zwingli. Ia menegaskan bahwa Yesus tidak mungkin hadir secara nyata (bodily/ real prensence) di dalam Ekaristi [mereka menyebutnya Perjamuan/the Lord’s Supper]. Maka roti dan anggur menurut Zwingli hanyalah simbol saja, sebagai tanda akan Tubuh Kristus, dan tanda akan Darah-Nya. Posisi Zwingli ini tidak bisa menjelaskan Sabda yang dikatakan Yesus, “Inilah Tubuh-Ku”, sebab ia mengartikannya sebagai, “Ini adalah simbol Tubuh-Ku”, yang tentu saja tidak sesuai dengan teks Alkitab.
Selanjutnya, baik Luther, Zwingli, Calvin dan Simmons, tidak menganggap Ekaristi (the Lord’s Supper/ Perjamuan Kudus) pertama-tama sebagai kurban peringatan dan pernyataan iman akan Misteri Paska Kristus. Karena doktrin “sola fide” (hanya iman saja) yang mereka anut, maka mereka cenderung menganggap Misa yang dilakukan oleh Gereja Katolik sebagai ‘perbuatan’ manusia. Mereka tidak melihat bahwa Ekaristi, yang walaupun melibatkan umat namun pertama-tama adalah perbuatan nyata Kristus sebagai Kepala dengan kesatuan dengan Tubuh Mistik-Nya, yang oleh kuasa Roh Kudus-Nya yang melintasi batas ruang dan waktu, mampu menghadirkan kembali kurban salib-Nya untuk mendatangkan buah-buahnya kepada Gereja-Nya sampai akhir jaman.
Maka, bagi Johanes Calvin, Perjamuan Kudus tersebut pertama-tama merupakan pernyataan kasih Tuhan. Gereja Katolik tidak menyangkal bahwa Ekaristi adalah pernyataan kasih Tuhan, namun Gereja Katolik juga melihat bahwa hal ini tidak terlepas dengan perbuatan Kristus yang mengikutsertaan anggota-anggota Tubuh-Nya untuk mengambil bagian dalam karya keselamatan yang dilakukan oleh-Nya sebagai Kepala. Dalam Misa, Yesus menjalankan peran-Nya sebagai Pengantara yang tunggal antara Allah dan manusia; dengan mengucapkan syukur kepada Allah Bapa dalam kuasa Roh Kudus, dan pada saat yang sama, menjadi kurban dan Imam Agung untuk menyalurkan rahmat pengampunan dosa demi keselamatan kita. Sebab sudah menjadi kehendak-Nya agar kita mengambil bagian dalam perjamuan Ekaristi agar kita beroleh hidup yang kekal (lih. Yoh 6:54); dan agar kita mengenang-Nya dengan cara demikian sampai kedatangan-Nya kembali (1 Kor 11:26). Maka, adanya Ekaristi, adalah pertama-tama karena rahmat Kristus, yang mengundang kita untuk mengambil bagian di dalam-Nya, dan karena itu, Misa bukan ‘perbuatan’ kita semata-mata, melainkan perbuatan Allah juga.

Daftar Pustaka
Alkitab Versi Elektronik
Katekismus Gereja Katolik Versi Elektronik

Traktat
Salettia Julius, Teologi Ekaristi, bahan kuliah mahasiswa STF-SP Semester V, (Pineleng : STF-SP, 2011).

Buku
KWI, Iman Katolik, (Yogyakarta : Kanisius, 1996), hlm. 410.
Erwin W. Lutzer, Teologi Kontemporer, (Malang: Gandum Mas, Cetakan ketiga 2005).
Mcbride Alfred, Pendalaman Iman Katolik Jilid-II, (Jakarta : Obor, 1994).

Artikel
Joan Carroll Cruz, Eucharistic Miracles (Rockford. Illinois: TAN Books, 1987).
Father Frank Chacon and Jim Burnham, Beginning Apologetics 3, (San Juan Catholic Seminars, Farmington, NM,2001).
Louis Berkhof, Systematic Theology, New Combined Edition, William B Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids, Michigan/ Cambridge, UK, 2005).


[1]Lih. Joan Carroll Cruz, Eucharistic Miracles (Rockford. Illinois: TAN Books, 1987), hlm. 45.
[2]  Yoh 6: 50-61, yang berbunyi : (Inilah roti yang turun dari sorga: Barangsiapa makan dari padanya, ia tidak akan mati. Akulah roti hidup yang telah turun dari sorga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang Kuberikan itu ialah daging-Ku, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia."
Orang-orang Yahudi bertengkar antara sesama mereka dan berkata: "Bagaimana Ia ini dapat memberikan daging-Nya kepada kita untuk dimakan."Maka kata Yesus kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman. Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia. Sama seperti Bapa yang hidup mengutus Aku dan Aku hidup oleh Bapa, demikian juga barangsiapa yang memakan Aku, akan hidup oleh Aku. Inilah roti yang telah turun dari sorga, bukan roti seperti yang dimakan nenek moyangmu dan mereka telah mati. Barangsiapa makan roti ini, ia akan hidup selama-lamanya."Semuanya ini dikatakan Yesus di Kapernaum ketika Ia mengajar di rumah ibadat. Sesudah mendengar semuanya itu banyak dari murid-murid Yesus yang berkata: "Perkataan ini keras, siapakah yang sanggup mendengarkannya?" Yesus yang di dalam hati-Nya tahu, bahwa murid-murid-Nya bersungut-sungut tentang hal itu, berkata kepada mereka: "Adakah perkataan itu menggoncangkan imanmu?)
[3]Lih.Mat 26:26, yang berbunyi : (Dan ketika mereka sedang makan, Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada murid-murid-Nya dan berkata: "Ambillah, makanlah, inilah tubuh-Ku.")
                Mrk 14:22, yang berbunyi : (Dan ketika Yesus dan murid-murid-Nya sedang makan, Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada mereka dan berkata: "Ambillah, inilah tubuh-Ku.")
Luk 22:19, yang berbunyi : (Lalu Ia mengambil roti, mengucap syukur, memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka, kata-Nya: "Inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku.")
[4]Bdk. Father Frank Chacon and Jim Burnham, Beginning Apologetics 3, (San Juan Catholic Seminars, Farmington, NM), hlm. 22.
[5] Bdk. Fr. Chacon, dalam artikel tentang Realis Praesentia In Eucharist,  dan Disarikan dari buku Louis Berkhof, Systematic Theology, New Combined Edition, William B Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids, Michigan/ Cambridge, UK) hlm. 646. Menerangkan bahwa Gereja Katolik sebaliknya, membedakan tiga macam kehadiran Yesus: 1) Kehadiran Yesus secara natural di mana-mana sebagai Tuhan, melalui pengetahuan-Nya, kuasa-Nya dan esensi-Nya; 2) Kehadiran Yesus secara spiritual dalam setiap orang yang berada dalam keadaan berdamai dengan Tuhan (in the state of grace); 3) Kehadiran Yesus secara substansial berupa Tubuh dan Darah-Nya, di dalam Ekaristi. Pandangan ini didasarkan pada ajaran St. Irenaeus (140-202). Ia adalah uskup Lyons, dan ia belajar dari St. Polycarpus, yang adalah murid Rasul Yohanes. Dalam karyanya yang terkenal, Against Heresies, ia menghapuskan pandangan yang menentang ajaran para rasul. Tentang Ekaristi ia menulis, “Dia [Yesus] menyatakan bahwa piala itu, … adalah Darah-Nya yang darinya Ia menyebabkan darah kita mengalir; dan roti itu…, Ia tentukan sebagai Tubuh-Nya sendiri, yang darinya Ia menguatkan tubuh kita.”
[7] Maksudnya, setiap unsur yang dimiliki atau yang terkandung dalam roti dan anggur itu diteliti seperti yang terkandung secara eksplisit atau bahkan implisit dalam Kitab Suci. Luther dalam arti tertentu, menolak dengan tegas kehadiran nyata Kristus dalam roti dan anggur karena mungkin saja menurutnya ajaran ini berdasar pada panteisme “Tuhan ada di mana-mana”. Sebab itu, ia merumuskan pandangannya dengan menyatakan, bukan transubstansiasi, melainkan konsubstansiasi.
[8]Bdk. Salettia Julius, Teologi Ekaristi, bahan kuliah mahasiswa STF-SP Semester V, (Pineleng : STF-SP, 2011), hlm. 29-30. 
[9]Ibid. hlm. 30-31. “Zwingli interpreted the words of Jesus, “This Is my body,” in harmony with John 6, where Jesus spoke of eating and drinking his body dan blood, especially vs. 63: “It is the spirit that gives life. The flesh is of no avail.” Therefore, he reasoned, not only is transubstantiation, that somehow Christ is corporeally in, under, and with the elements. The Doctrine of physical eating is absurd and repugnant to common sense. Moreover, God does not ask us to believe that which is contrary to sense experience. The word “is” in the words of institution means “signifies” or “represents” and must be interpreted figuratively as is done in other “I am” passages in the Bible. Christ’s ascension means that he took his body from earth to heaven.”
[11] Bdk. Salettia Julius, Teologi Ekaristi, bahan kuliah mahasiswa STF-SP Semester V, (Pineleng : STF-SP, 2011), hlm. 31-32.
[12]Ibid.
[13] Gereja ini dimulai oleh seorang bekas imam Katolik yang bernama Menno Simmons yang berasal dari Belanda. Menno Simmons dilahirkan di kota Witmarsum di Friesland pada tahun 1496, dan meninggal pada tahun 1561. Simmons dipersiapkan sejak masa mudanya untuk menjadi imam Katolik dan ditahbiskan pada tahun 1524. Ia mulai melayani sebuah jemaat di kota Pinjum. Tujuh tahun kemudian ia kembali dan melayani di kota kelahirannya, Wirmarsum. Sebagai seorang imam ia menjalankan tugas-tugas rutinnya seperti melayani misa, menerima pengakuan dosa, membaptiskan anak-anak yang baru lahir dan berdoa bagi umatnya. Namun Simmons tidak pernah membaca Alkitab, meskipun ia menjalani pendidikan dan latihan untuk membaca dan menulis dalam bahasa Latin di biaranya. Simmons dengan sengaja menghindari Alkitab karena rasa takut. Sebagai seorang Katolik, ia diajar bahwa hanya Paus sajalah yang dapat menafsirkan Alkitab tanpa kesalahan.
Pergumulan Pertama : Pada tahun pertama pelayanannya sebagai seorang imam, Simmons mulai meragukan ajaran tentang infalibilitaspaus, pada saat ia memimpin misa. Ajaran Katolik tentang transubstansiasi menyatakan bahwa ketika roti dan anggur diberkati, kedua elemen itu sungguh-sungguh berubah menjadi tubuh dan darah Yesus. Simmons setuju dengan para Reformator lainnya bahwa elemen-elemen itu “mewakili” namun tidak sungguh-sungguh “berubah” menjadi tubuh dan darah Kristus.
Menurut tradisi, mula-mula Simmons menganggap semua ini sebagai cobaan iblis. Karena itu Simmons mengambil sakramenpengakuan dosa dengan harapan bahwa Allah akan menyingkirkan beban ini. Namun apa yang terjadi ialah beban itu malah semakin bertambah dan berkembang menjadi suatu pergumulan batin yang dicoba diselesaikannya dengan sungguh-sungguh membaca Perjanjian Baru. Namun semakin mendalam ia membaca dan mempelajari Alkitab, ia menjadi semakin yakin bahwa doktrin itu tidak mempunyai dasar alkitabiah. Pada saat itulah Simmons merasa harus memilih antara otoritas Alkitab dan otoritas Gereja.
Pada saat itu Simmons menemukan tulisan-tulisan Martin Luther dan berdasarkan hal itu, akhirnya ia mengakui bahwa Firman Allah lebih berwibawa dibandingkan dengan perintah-perintah dan praktik manusia. Luther dengan tegas mengajarkan bahwa hukum-hukum manusia tidak bisa mengutuk manusia untuk selama-lamanya. Manusia tidak memberikan anugerah ataupun menyingkirkannya. Oleh karena itu perlahan-lahan Simmons menyingkirkan doktrin transubstansiasi, meskipun ia tetap melayankan sakramen tersebut pada misa. Pengalaman Simmons ini tidak membuatnya meninggalkan Gereja Katolik. Namun hal ini telah menimbulkan di dalam dirinya keraguan terhadap kewibawaan Gereja.
[14] Ajaran Trente mengenai kehadiran Kristus dalam Ekaristi berbunyi “Dalam Sakramen Ekaristi yang mahakudus ada secara sungguh, riil dan substansial, tubuh dan darah Tuhan kita Yesus Kristus, bersama dengan jiwa dan ke-allahan-Nya, jadi seluruh Kristus”. Tidak “tinggal substansi roti-dan-anggur bersama dengan tubuh dan darah Tuhan kita Yesus Kristus”, sebab tubuh dan darah Kristus hadir karena “perubahan seluruh substansi roti menjadi tubuh dan seluruh substansi anggur menjadi darah, sedang yang tinggal hanyalah rupa roti dan anggur, ialah perubahan yang oleh Gereja Katolik dengan tepat disebut “trans-substantiatio” (DS 1651-2). Ajarannya mengenai kurban: “Dalam Misa dipersembahkan kepada Allah kurban sungguh-sungguh dalam arti yang sebenarnya.” Maka kurban itu bukan “hanya kurban pujian dan syukur, atau semata-mata pengenangan saja akan kurban salib”, “kurban pelunas sendiri” (DS 1751; 1753) [Lih. KWI, Iman Katolik, (Yogyakarta : Kanisius, 1996), hlm. 410.]
[15] Berdasar pada Konsili Trente, Konsili Vatikan II sedikit banyak melengkapi keterbatasan rumusan Trente (lih. Catatan kaki nomor 8). “Dalam perjamuan terakhir, pada malam Ia diserahkan, Penyelamat kita mengadakan kurban ekaristis tubuh dan darah-Nya, untuk melangsungkan kurban salib selama peredaran abada sampai Ia datang kembali. Dengan demikian Ia mempercayakan kepada Gereja, mempelai-Nya yang tercinta, pengenangan akan wafat dan kebangkitan-Nya: sakramen kasih saying, tanda kesatuan, ikatan cinta kasih, perjamuan Paskah, di mana Kristus disantap, jiwa dipenuhi rahmat, dan diberikan jaminan kemuliaan kelak (SC 47). (Ibid. hlm. 410-411).
[16] Kata Yunani itu berarti ‘kumpulan’ atau pertemuan, sama dengan ekklesia (gereja). Tetapi itu tidak berarti bahwa perayaan Ekaristilah satu-satunya pertemuan Gereja. Di banyak tempat bila tidak ada imam, umat berkumpul untuk ibadat sabda atau doa bersama yang lain. Di situ pun terlaksana kesatuan umat dalam Kristus, walaupun tidak dalam bentuk sakramen [Lih. KWI, Iman Katolik, (Yogyakarta : Kanisius, 1996), hlm. 401-402].  
[17]Lih. KWI, Iman Katolik, (Yogyakarta : Kanisius, 1996), hlm. 402.
[18]Bdk. Mat 26:26-29, Mrk 14:22-24, Yoh 6:51-58.
[19]Lih. Salettia Julius, Teologi Ekaristi, bahan kuliah mahasiswa STF-SP Semester V, (Pineleng : STF-SP, 2011), hlm. 28. Terjemahannya : “Barangsiapa yang percaya pada-Nya harus menyantap tubuh-Nya dan minum darah-Nya, tidak dalam arti harafiah, tetapi dalam arti simbol atau lambang dan secara sakramental dalam amanat dan praktek perjamuan yang telah dilakukan-Nya dalam gereja. Melalui iman dan mengambil bagian di dalam-Nya mereka akan hidup selamanya, dalam kesatuan dengan-Nya pula yang berarti keselamatan.”
[20] Hak istimewa untuk ikut serta dalam Perjamuan Tuhan jangan sekali-kali dianggap sebagai sudah semestinya. Kita dapat membayangkan kegembiraan di Wittenberg pada hari Natal tahun 1521, ketika 2 ribu orang berkumpul di gereja Istana, dan Carlstadt, seorang rekan Luther, membagi-bagikan roti dan anggur kepada jemaat. Hak istimewa yang tidak dapat dinikmati orang-orang percaya selama beratus-ratus tahun telah dipulihkan kembali. Para Reformator menamakannya keimanan orang percaya.Jika Melanchton hidup sekarang ini, ia mungkin tidak menangis karena pertentangan-pertentangan yang terjadi di sekitar Perjamuan Tuhan, tetapi ia mungkin berdukacita karena ketidakacuhan kita terhadap makna dan kepentingannya. Ini, juga, pantas ditangisi, karena sebenarnya Luther sendiri akhirnya mengiyakan akan roti dan anggur adalah tubuh dan darah Kristus dalam Ekaristi. Kristus hadir secara rohani dalam iman setiap orang yang percaya kepada-Nya. (Lih. Erwin W. Lutzer, Teologi Kontemporer, (Malang: Gandum Mas, Cetakan ketiga 2005), hlm 55-56.
[21]St. Ignatius dari Antiokhia (110), adalah murid dari rasul Yohanes. Ia menjadi uskup ketiga di Antiokhia. Sebelum wafatnya sebagai martir di Roma, ia menulis tujuh surat kepada gereja-gereja, berikut ini beberapa kutipannya:
a. Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, dia mengatakan, “…Di dalamku membara keinginan bukan untuk benda-benda materi. Aku tidak menyukai makanan dunia… Yang kuinginkan adalah roti dari Tuhan, yaitu Tubuh Kristus… dan minuman yang kuinginkan adalah Darah-Nya: sebuah makanan perjamuan abadi.”
b. Dalam suratnya kepada jemaat di Symrna, ia menyebutkan bahwa mereka yang tidak percaya akan doktrin Kehadiran Yesus yang nyata dalam Ekaristi sebagai ‘heretik’/ sesat: “Perhatikanlah pada mereka yang mempunyai pandangan beragam tentang rahmat Tuhan yang datang pada kita, dan lihatlah betapa bertentangannya pandangan mereka dengan pandangan Tuhan …. Mereka pantang menghadiri perjamuan Ekaristi dan tidak berdoa, sebab mereka tidak mengakui bahwa Ekaristi adalah Tubuh dari Juru Selamat kita Yesus Kristus, Tubuh yang telah menderita demi dosa-dosa kita, dan yang telah dibangkitkan oleh Allah Bapa…”
c. Dalam suratnya kepada jemaat di Filadelfia, ia mengatakan pentingnya merayakan Ekaristi dalam kesatuan dengan Uskup, “Karena itu, berhati-hatilah… untuk merayakan satu Ekaristi. Sebab hanya ada satu Tubuh Kristus, dan satu cawan darah-Nya yang membuat kita satu, satu altar, seperti halnya satu Uskup bersama dengan para presbiter [imam] dan diakon.”
St. Yustinus Martir (sekitar tahun 150-160). Ia menjadi Kristen sekitar tahun 130, oleh pengajaran dari para murid rasul Yohanes. Pada tahun 150 ia menulis Apology, kepada kaisar di Roma untuk menjelaskan iman Kristen, dan tentang Ekaristi ia mengatakan: “Kami menyebut makanan ini Ekaristi, dan tak satu orangpun diperbolehkan untuk mengambil bagian di dalamnya kecuali jika ia percaya kepada pengajaran kami… Sebab kami menerima ini tidak sebagai roti biasa atau minuman biasa; tetapi karena oleh kuasa Sabda Allah, Yesus Kristus Penyelamat kita telah menjelma menjadi menjadi manusia yang terdiri atas daging dan darah demi keselamatan kita, maka, kami diajar bahwa makanan itu yang telah diubah menjadi Ekaristi oleh doa Ekaristi yang ditentukan oleh-Nya, adalah Tubuh dan Darah dari Kristus yang menjelma dan dengan perubahan yang terjadi tersebut, maka tubuh dan darah kami dikuatkan.”
St. Irenaeus (140-202). Ia adalah uskup Lyons, dan ia belajar dari St. Polycarpus, yang adalah murid Rasul Yohanes. Dalam karyanya yang terkenal, Against Heresies, ia menghapuskan pandangan yang menentang ajaran para rasul. Tentang Ekaristi ia menulis, “Dia [Yesus] menyatakan bahwa piala itu, … adalah Darah-Nya yang darinya Ia menyebabkan darah kita mengalir; dan roti itu…, Ia tentukan sebagai Tubuh-Nya sendiri, yang darinya Ia menguatkan tubuh kita.”
St. Cyril dari Yerusalem (315-386), Uskup Yerusalem, pada tahun 350 ia mengajarkan, “Karena itu, jangan menganggap roti dan anggur hanya dari penampilan luarnya saja, sebab roti dan anggur itu, sesuai dengan yang dikatakan oleh Tuhan kita, adalah Tubuh dan Darah Kristus. Meskipun panca indera kita mengatakan hal yang berbeda; biarlah imanmu meneguhkan engkau. Jangan menilai hal ini dari perasaan, tetapi dengan keyakinan iman, jangan ragu bahwa engkau telah dianggap layak untuk menerima Tubuh dan Darah Kristus.”
Melalui pengajaran para Bapa Gereja ini, kita mengetahui bahwa sejak abad awal, Gereja percaya dan mengimani bahwa roti dan anggur setelah dikonsekrasikan oleh Sabda Tuhan menjadi Tubuh dan Darah Yesus. Dan, maksudnya Ekaristi itu diberikan supaya kita belajar menjunjung tinggi kesatuan Tubuh Mistik Kristus, yang ditandai dengan kesatuan kita dengan dengan para pemimpin Gereja, yaitu uskup, imam dan diakon. Iman sedemikian sudah berakar sejak jemaat awal, dan ini dibuktikan, terutama oleh kesaksian St. Ignatius dari Antiokhia yang mendapat pengajaran langsung dari Rasul Yohanes. Jangan lupa, Rasul Yohanes adalah yang paling jelas mengajarkan tentang Roti Hidup pada Injilnya (lihat Yoh 6). Jadi walaupun doktrin Transubtantion baru dimaklumkan pada abad 13 yaitu melalui Konsili Lateran ke 4 (1215), Konsili Lyons (1274) dan disempurnakan di Konsili Trente (1546), namun akarnya diperoleh dari pengajaran Bapa Gereja sejak abad awal. Prinsipnya adalah: roti dan anggur, setelah dikonsekrasikan oleh Sabda Tuhan, berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Karena itu, walaupun rupa luarnya berupa roti dan anggur, namun hakekatnya sudah berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Oleh kesatuan dengan Tubuh yang satu ini, maka kita yang walaupun banyak menjadi satu. (Lih. http://katolisitas.org/2009/04/27/sejarah-yang-mendasari-pengajaran-tentang-ekaristi/html.).
    Untuk mengerti “transubstansiasi”, filsafat Aristoteles kiranya dapat membantu. Menurut Aristoteles, segala sesuatu di dunia ini mempunyai hakikat (substansi) yang tak kelihatan. Substansi inilah yang membuat sesuatu menjadi sesuatu itu, dan bukan menjadi yang lain. Misalnya hakikat kucing adalah apa yang membuat kucing itu kucing, tak peduli apakah kucing itu besar, kurus, kurapan, berbulu hitam atau putih. Hakikat meja adalah apa yang membuat berbagai meja dengan bentuk apa pun (bulat, lonjong, segiempat) menjadi meja. Sedangkan aksidens adalah bentuk lahiriah (gemuk, kurus, hitam, putih, bulat, lonjong, dsb.) yang ditambahkan pada substansi. Substansi dan aksidens membentuk segala makhluk/benda konkret. Dengan demikian pengenalan manusia mencakup dua aspek: pengenalan akan substansi yang ditangkap oleh rasio, dan pengenalan akan aksidens yang ditangkap indera. Dari sini, St. Thomas Aquinas mengajarkan bahwa dalam konsekrasi, seluruh substansi roti dan anggur (yakni apa yang membuat roti dan anggur menjadi roti dan anggur) diubah menjadi substansi tubuh dan darah Kristus, meskipun sifat dan rupa (aksidens) roti dan anggur tetap sama.

3 komentar:

  1. Mantap..... Teruslah beranalisis dan Menulis tentunya...Jadilah Imam yang baik bagi Umat... Salam

    "Vanjer"

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasi abang.... Abang juga turut membantu perkembangan saya.... makasi lagi.....

      Hapus
  2. Untuk memperingati kematian Yesus itu ya setahun sekali di hari raya Paskah yang perayaannya mengikuti kalender Yahudi. Apa yang dimaksud Yesus dengan mengatakan bahwa roti yang dibagikanNya adalah lambang bahwa keesokan harinya tubuhNya akan banyak mengalami luka, karena roti yang dipakai dalam perjamuan Paskah Yahudi itu adalah Matzah yang berlubang - lubang. Sedangkan anggur juga hanyalah gambaran darahNya yang tercurah untuk menebus dosa.

    BalasHapus