11 Oktober 2011

MAKNA SAKRAMEN PERTOBATAN


(Sebuah Refleksi Teologis
berdasarkan Pemahaman Kitab Suci dan para Teolog)


Pengantar

Sautu ketika, seekor serigala yang buas masuk ke desa dan melahap segala yang ada. Dalam perjalanan ia menemukan seorang kanak-kanak kecil yang berusia dua tahun, maka ditangkapnya kanak-kanak itu dengan rahangnya, dan dibawanya pergi; tetapi beberapa penduduk desa yang sedang bekerja di kebun anggur mengejar dan menyerangnya, lalu merenggut sang kanak-kanak darinya. Demikian pula halnya Sakramen Tobat merenggut kita dari cengkeraman si iblis.
~St. Yohanes Maria Vianney.

            Demikianlah cara kerja Sakramen Pertobatan dengan menarik kembali mereka yang jatuh ke dalam dosa. Sakramen Pertobatan adalah sarana bagi orang Kristen untuk mendekatkan diri dengan Allah. Ia menjadi jembatan bagi orang beriman yang mau kembali kepada Allah. Melaluinya, orang beriman memperoleh rahmat dari Allah yang tak henti-hentinya. Rahmat menjadi tujuan terakhir dari Sakramen Pertobatan. Ia juga mempersatukan orang beriman dengan Allah yang berinisiatif memberikan rahmat itu. Sedangkan dosa mengakibatkan kita untuk memperoleh rahmat itu. Muncul pertanyaan, apakah dosa itu perlu untuk dilakukan? Sama sekali “tidak perlu”, karena rahmat itu diberikan bukanlah karena dosa tetapi karena kerelaan dari Allah untuk memberinya bagi kita manusia yang berdosa. Jadi, yang akan kita peroleh adalah pengampunan sekaligus rahmat atas pengampunan itu sendiri.
            Dalam Sakramen Pertobatan, kita menemukan dua hal pokok, yakni dosa dan rahmat. Dosa dan rahmat adalah dua istilah penting yang terdapat dalam Sakramen Pertobatan. Untuk itu, kita perlu memahami kedua istilah itu dan mengertinya dalam konteks Sakramen Pertobatan. Dengan demikian, mari kita lihat beberapa permasalahan pokok yang perlu dibahas dalam karya ilmiah ini, yakni apa itu dosa? dan apa sesungguhnya rahmat itu? serta bagaimana Sakramen Pertobatan itu dihayati dalam kehidupan orang beriman? Penjelasan mengenai dosa akan dibagi dalam empat zaman besar, yakni zaman Yesus, zaman gereja perdana, ulasan beberapa teolog menyangkut dosa dan sakramen pertobatan serta menurut penulis sendiri. Dari situ, kita diajak untuk melihat pula mengenai dimensi-dimensi dari sakremental itu sendiri yang berhubungan dengan sakramen Pertobatan dan akan ditutup dengan kesimpulan yang dibuat sendiri oleh penulis dengan didasarkan pada pandangan Kitab Suci dan pandangan para teolog. Karena itu, dalam praktek Sakramen Pertobatan, dibutuhkan pengenalan terlebih dahulu tentangnya dan kemudian menghayatinya dalam hidup menggereja.
Bagian I :
Pemahaman Dosa pada Zaman Yesus, Zaman Gereja Perdana, Beberapa pandangan dari para Teolog dan pemahaman Penulis

1.    Kristologis: Berdasakan Seruan Yesus (Markus 1:14-15)
Menyangkut persoalan ini, saya akan menulis dari sisi kepentingannya. Ternyata dosa merupakan salah satu “prinsip” hidup manusia yang beriman. Hanya dalam iman, kita mengenal istilah dosa. Di luar itu tidak akan kita temukan, sebab hubungan atau relasi dengan Allah menentukan adanya istilah ini. Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa dosa adalah rusak atau putusnya hubungan manusia dengan Allah. Atau dengan kata lain, dosa adalah perihal yang membuat orang yang beriman tidak dalam keadaan damai dengan Allah.
Hal inilah yang pertama-tama diserukan oleh Yesus ketika tampil di hadapan publik, kata Yesus: “Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!”, (Mrk. 1:15). Kata ‘bertobatlah’ menunjukkan bahwa waktu itu terdapat orang-orang yang berdosa dan  untuk itu harus kembali kepada Allah karena Kerajaan Allah sudah dekat. Allah hendak memerintah sehingga manusia perlu bertobat dan percaya kepada Injil. Artinya, dengan Injil manusia akan dibebaskan dari dosa dan kesalahan. Demikianlah, dapat dikatakan dosa adalah penghalang bagi manusia untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah. Dosa adalah hal pertama yang harus ditinggalkan jika seseorang ingin memperoleh Kerajaan Allah. Karena itu, Yesus mau agar manusia perlu dibersihkan dari dosa dan kembali kepada jalan yang benar, sehingga bisa bertemu dengan Allah dalam Kerajaan-Nya. Inilah yang diperjuangkan oleh Yesus selama hidup-Nya dengan menyembuhkan banyak orang dan bahkan melunasi dosa-dosa manusia itu dengan sengsara, wafat dan kematian-Nya di kayu salib.
Berdasarkan apa yang diwartakan oleh Yesus itu, dapatlah kita menarik satu kesimpulan bahwa situasi hidup zaman Yesus sangat identik dengan dosa, sehingga manusia pada waktu itu perlu bertobat dan menerima ajaran Yesus agar layak hidup di hadapan Allah. Dosa menjadi gaya hidup orang-orang pada zaman itu sehingga memerlukkan seorang ‘tabib’ yang menyembuhkan mereka. Kehadiran Yesus menumpas semua cara hidup yang diliputi dengan dosa itu dan menarik mereka kepada jalan yang benar yakni, jalan keselamatan.
Dari semuanya itu, dapatlah kita mengambil satu kesimpulan umum bahwa dosa merupakan pikiran, perkataan dan perbuatan yang melawan kehendak dan rencana Allah. Dengan kata lain, dosa adalah gaya hidup yang identik dengan perlawanan terhadap Allah. Hidup yang tidak benar dan tidak sesuai dengan ajaran dan rancangan Yesus, itulah yang disebut dengan dosa.
2.    Berdasarkan Pemahaman Gereja Perdana
Gereja Perdana adalah rasul-rasul dan murid-murid serta orang-orang yang berjalan mengikuti Yesus dalam pengajaran-Nya. Mereka inilah yang mengikuti Yesus dan selalu mendengar apa saja yang disabdakan oleh Yesus. Mereka menjadi saksi pertama dari perbuatan-perbuatan Yesus yang mengapuni dosa-dosa orang yang terluka pada saat itu. Sabda dan ajaran Yesus menjadi pegangan bagi para rasul dan murid-murid Yesus ketika Yesus naik ke surga. Semua yang dilakukan Yesus menjadi bagian dari hidup orang-orang yang mengikuti-Nya pada waktu itu, karena itulah yang dianggap benar dan tidak menyesatkan orang dan lagi tidak membawa orang pada dosa, justru sebaliknya menghindarkan orang dari dosa dan kesalahan.
Hal itu terlihat jelas dari cara hidup jemaat perdana yang melepaskan segala milik mereka dan menjualnya kemudian membagikan hasil penjualan itu kepada mereka sendiri sehingga hidup mereka tidak berkekurangan. Barang milik merupakan salah satu akar dari dosa sehingga setiap orang harus melepaskan diri dari kepunyaannya. Dari sini, kita dapat berargumen bahwa dosa merupakan keinginan yang kuat terhadap barang miliki pribadi. Dengan menginginkan barang milik pribadi itu, orang dapat saja meninggalkan Allah dan mementingkan kepunyaanya. Karena itu, jemaat perdana ingin mempraktekkan cara hidup yang baru dan berbeda dengan hidup yang sebelumnya. Dengan demikian, hidup mereka terlepas dari dosa dan benar di hadapan Allah.[1]
Menurut saya, jemaat perdana melakukan kebiasaan itu karena mungkin Yesus mengajarkan kepada mereka seperti itu. Ingat, Yesus pernah mengajarkan tentang “Hal mengumpulkan harta”, (Mat. 6:19-24), Ia juga memanggil Matius, si pemungut cukai untuk mengikuti-Nya (Lih. Mat. 9:9-13, Mrk. 2:13-17, Luk. 5:27-32) dan juga Ia pernah menjelaskan kepada seorang kaya yang bertanya kepada-Nya tentang bagaimana caranya untuk memperoleh hidup yang kekal (Lih. Mat. 19:16-26, Mrk. 10:17-27, Luk. 18:18-27). Bisa jadi, jemaat-jemaat perdana mengikuti ajaran-ajaran Yesus ini dalam mengatasi perbuatan dosa. Jadi, dosa sangat mungkin disebabkan oleh kerekatan manusia dengan harta miliknya dan tidak pada Allah.
3.    Berdasarkan Beberapa Teolog dalam Gereja Katolik
Ada beberapa teolog yang juga menyumbangkan pemikirannya menyangkut dosa dan pertobatan itu. Pemahaman mereka itu saya kutip dari buku “Pertobatan dalam Tradisi Katolik” yang ditulis oleh Al. Purwa Hadiwardoyo, MSF dan diterbitkan oleh Kanisuis (hal. 50-88). Pemahaman mereka itu dapat kita simak sebagai berikut:
a.      Piet Schoonenberg
Secara umum, Schoonenberg menegaskan bahwa dosa merupakan pelanggaran manusia atas perjanjian yang dilakukan antara Allah dan manusia. Dosa juga merupakan kejahatan-kejahatan moral, dalam berbagai tingkat dan jenisnya. Dan istilah “kedosaan” itu sendiri merujuk pada suatu kenyataan yang memiliki arti yang lebih mendalam, yakni kegelapan atau bahkan kekuatan jahat. Lebih lanjut, Schoonenberg melihat dosa-dosa dunia sebagai perbuatan yang tidak sesuai dengan kehendak Allah yang dilakukan oleh orang-orang yang masih hidup di dunia ini dan juga kondisi negatif dunia yang disebabkan oleh dosa-dosa manusia dari semua generasi.
Ia juga melihat dosa asal sebagai keterpisahan Allah dengan manusia pertama yang di Taman Eden (Kej. 3) dan mengakibatkan semua keturunan dari manusia pertama itu harus hidup di luar Taman Eden. Dengan demikian, keturunan manusia pertama itu pun terpisah dengan Allah. Dengan begitu, kita dapat melihat dengan jelas bahwa Schoonenberg memaksudkan dosa sebagai suatu perbuatan manusia yang melawan kehendak Allah. Perjanjian yang dibuat antara Allah dan manusia diabaikan oleh manusia sendiri sehingga menyebabkan manusia jatuh ke dalam cengkeraman maut.
b.      Bernhard Hearing
Tanpa mendefeniskan dosa, Hearing langsung dengan tegas menunjukkan bahwa Kristus adalah sakramen pertobatan. Hanya melalui Kristus, pertobatan umat Kristen menjadi mungkin. Kristus datang ke dunia untuk mewartakan dan mewujudkan pertobatan, lebih lanjut yang ditegaskan oleh Hearing. Meski tidak menunjuk dengan jelas apa itu dosa, namun Hearing tetap melihat kaitan antara dosa dan penyebabnya. Bahwa akar dari dosa adalah kesombongan dan setiap dosa  semakin memupuk kesombongan itu. Maka, Hearing mengusulkan agar kerendahan hati harus ditempatkan dalam diri orang yang berbuat dosa agar dapat mengambil langkah pertobatan. Karena itu, bagi Hearing, pertobatan merupakan jalan untuk menghapus dosa-dosa yang diperbuat oleh setiap pendosa. Pertobatan itu juga hanya dapat dilakukan jika Allah turut bekerja di dalamnya melalui Kristus sendiri. Dengan kata lain, Kristus dipandang sebagai pemeran utama dalam mempersatukan kembali orang berdosa dengan Allah. Allah akan memberi rahmat pertobatan namun tetap mempertahankan peran manusia di dalam prosesnya, terutama melalui penyesalan dan pengakuan dosa serta perbuatan silih.
c.       John F. McDonald
Hal yang sama ditemukan pula dalam catatan McDonald, yakni tidak dengan mengklasifikasikan dosa terlebih dahulu dan langsung mencatatkan tentang sakramen pertobatan. Akan tetapi, dari catatannya saya dapat menarik satu benang merah bahwa dosa adalah kelemahan manusiawi yang merusak persahabatan yang telah menyatukan seorang Kristen dengan Tuhan. Karena itu, soerang yang berdosa perlu melakukan pertobatan dan inti pertobatan itu adalah iman kepada Yesus Kristus. Pertobatan itu dilakukan dengan perantaraan bapa-bapa pengakuan, yakni para imam. Bapa-bapa pengakuan diharapkan untuk dapat berperan sebagai seorang tabib kerohanian yang mampu melakukan pembedaan roh secara bijaksana.
d.      J. D. Crichton
Berhubungan dengan sakramen-sakramen, melalui konstitusi liturgi yang berjudul Sacrosanctum Concilium, pemimpin Gereja Katolik yang berkumpul dalam pembaptisan bayi, orang haruslah punya iman yang nyata sebelum dapat merayakan sakramen; sakramen adalah perjumpaan dengan Kristus; bersama pelayan sakramen, para penerima sakramen harus berpartisipasi aktif dalam perayaan sakramen yang bersangkutan (SC 5, 59). Dengan kata lain, iman tidak hanya mendasari, melainkan juga terungkap, disyukuri, dan dirayakan dalam sakramen-sakramen.
4.    Berdasarkan pemahaman Penulis
Kita telah melihat sepintas lalu tentang bagaimana pemahaman dosa dan sakramen Pertobatan secara garis besar menurut Kitab Suci dan Pemikiran para ahli teologi dalam Gereja Katolik. Kini, penulis ingin membuat suatu kesimpulan berdasarkan apa yang sudah dibahas di atas itu, mengenai dosa dan sakramen Pertobatan yang menjadi satu kesatuan yang tidak dapat sipisahkan. Umumnya, dosa dipandang sebagai suatu pertikaian dan perlawanan dari pihak manusia terhadap Allah yang menyebabkan putusnya hubungan manusia dengan Allah pula. Hubungan itu dilihat dalam kaitannya dengan perjanjian yang dibuat oleh Allah dengan manusia mulai dari sejak manusia pertama sampai saat ini. Bahwa Allah ingin agar manusia selamat dan karena itu membuat suatu perjanjian dengan manusia, namun manusia tidak setia sehingga Allah menjadi murka dan menghukum manusia sesuai dengan ukuran pelanggarannya.
Dosa juga dilihat sebagai suatu pertentangan manusia terhadap kehendak dan rencana Allah yang bersifat menyelamatkan manusia. Pada dasarnya, Tuhan mengingikan yang baik dalam hidup manusia, namun karena kesombongan manusia maka ia menolak apa yang dikehendaki oleh Allah itu dan berbalik dari apa yang diharapkan Allah sendiri. Yesus dengan tegas mengajarkan hukum cinta kasih agar manusia sadar akan tujuan dan arah hidupnya tetapi manusia begitu congkak sehingga menolak Yesus sebagai Juruselamatnya. Akan tatapi, justru kematian Yesus itu maka manusia dibebaskan dari dosa dan diminta untuk tinggal dalam suasana hidup yang baru dan tidak menghidupi cara hidup manusia lamanya lagi. Hal ini dengan jelas dapat dilihat dalam kehidupan jemaat-jemaat perdana setelah Yesus. Semangat dan teladan hidup yang baru serta mengikuti ajaran-ajaran Yesus menjadi bagian dari hidup mereka sehingga dosa tidak lagi memperoleh tempat di dalam komunitas mereka.
Akhirnya, dosa pun tak dapat dipisahkan dengan pertobatan yang harus dilakukan oleh seseorang yang berbuat dosa. Dalam perkembangannya, sakramen tobat dilihat sebagai suatu sarana yang dapat menghantar kembali manusia yang mengalami keterpisahan dengan Allah sebagai sumber segala penghidupan. Di dalamnya, si pendosa diharapkan untuk mengakukan dosa-dosanya dengan jujur dan didasarkan atas kerelaan hatinya dalam mengakui dosa-dosanya. Seorang imam memainkan peran penting pada saat ini. Ia adalah perantara manusia yang berdosa dengan Kristus sebagai tujuan akhir. Manusia dapat bersatu lagi dengan Allah kalau ia menyadari dosa-dosanya dan percaya kepada Kristus. Karena melalui Kristus, semua orang baik pendosa maupun orang yang kudus hidupnya dapat sampai kepada Allah Bapa di surga. Demikianlah, dalam diri seorang imam Kristus tinggal dan memberi pengampunan kepada orang yang berdosa. Imam manyabet gelar sebagai Alter Kristus sehingga setiap orang yang berdosa harus datang kepadanya dan melakukan pertobatan bagi dirinya sendiri.
Demikianlah yang dapat disimpulkan oleh penulis berdasarkan apa yang sudah penulis paparkan sebelumnya mengenai dosa dan pengampunan atas dosa dalam sakramen Pertobatan.  



Bagian II :
Dimensi-dimensi Sakramen Pertobatan

1.      Dimensi Misteri Paskah
Dalam dimensi ini, meisteri paskah atau kebangkitan Kristus dihubungkan dengan sakramen pertobatan. Kebangkitan Kristus merupakan pemenuhan atas sakramen pertobatan, di mana setiap manusia yang merasa diri berdosa memperoleh pengampunan berkat kebangkitan Kristus itu. Ia mati untuk menghapus dosa-dosa dunia sehingga kematian-Nya menjadi penyempurnaan atas penghapusan dosa-dosa itu. Tanpa kebangkitan Kristus, manusia tidak dapat bersatu dengan Allah. Karena itu, Kristus harus mati dan bangkit untuk menebus dosa-dosa manusia.
2.      Dimensi Ekklesial
Dalam dimensi ini, dimaksudkan bahwa dosa yang dilakukan oleh seseorang merupakan tanggung jawab dari orang-orang lain yang menjadi teman sekelompoknya. Itu berarti, siapa saja yang berada di sekirarnya turut bertanggung jawab atas dosa yang diperbuat oleh satu orang itu. Kolegialitas memperoleh tempat dalam dimensi ini dalam kaitannya dengan pengembalian jati di diri sebagai orang yang mengimani Kristus. Itulah Gereja, di dalamnya kita menjalankan pesekutuan sebagai pengikut-pengikut Kristus dan membantu sesama kita yang jatuh ke dalam kesalahan yang memisahkan dirinya dengan Kristus.
3.      Dimensi Liturgis
Khusus untuk dimensi ini, di dalamnya terdapat pengampunan dosa yang berkaitan dengan sakramen Pertobatan itu sendiri, tepatnya pada awal perayaan sabda itu. Kita diajak untuk menyangkal dosa-dosa kita kepada Tuhan sebelum melanjutkan perayaan sabda atau perayaan iman itu. Hubungannya dengan sakramen Pertobatan adalah; sakramen pertobatan mengusahakan pengmpunan dengan mengakui dosa-dosa secara langsung melalui sabda dan jawaban iman, sedankan perayaan Liturgis juga menekankan sabda dan jawaban iman manusia terhadap sabda itu. Itu berarti, sabda menjadi bentuk pewartaan dan tawaran kepada manusia dan manusia perlu menjawabnya dengan iman. Karena dengan cahaya iman, sesorang mampu untuk melihat dosa-dosanya dan melihat sabda sebagai jalan untuk merealisasikan pertobatan dirinya. Melakukan sabda adalah salah satu bentuk konkrit dari pengampunan dosa itu.

4.      Dimensi Personal
Meskipun pertobatan dan pengampunan dosa dapat dibuat dalam situasi kebersamaan seperti pada dimensi Ekklesial, namun dimensi personal lebih diperhitungkan di dalamnya. Dalam dimensi Ekklesial, sesorang dibantu untuk memperoleh pengampunan melalui dorongan komunal atau kelompok terhadap personal, namun jika tanpa keinginan dan kemauan dari orang yang bersangkutan maka sia-sialah usaha pertobatan yang dilakukan. Jadi, pertobatan sangat tergantung pada tanggapan dan keseriusan seseorang dan tetap memperhatikan masukan dari orang-orang yang berada di sekitarnya sebagai satu kelompok.
5.      Dimensi Historis
Manusia hidup dalam lingkaran waktu yang tak bisa untuk dihentikan. Bersamaan dengan itu, sakramen Pertobatan dipandang pula sebagai sarana untuk membangun Kerajaan Allah dalam hidup seseorang. Karena itu, sakramen Pertobatan harus menjadi penuntun bagi manusia yang mengalami sejarah itu, layaknya Yesus yang mengusahakan kemenangan atas dosa-dosa manusia dalam misteri paskah. Hidup manusia di masa yang akan datang akan aman jika hari ini dan esok sesorang hidup dalam pertobatan.
6.      Dimensi Sakramental
Di sini, aspek terdalam dari sakramen itu sendiri lebih ditekankan, di mana Yesus dipandang sebagai sakramen yang adalah perbuatan Gereja itu. Yesus adalah Sakramen Utama sehingga pengampunan yang diberikan oleh Bapa dalam diri Kristus dilanjutkan oleh Geraja. Hal ini nampak dalam ketujuh sakramen yang diwarikan oleh Gereja. Pengampunan atas dosa tidak hanya terjadi dalam sakramen Pertobatan melainkan juga dalam keenam sakramen yang lainnya. Seseorang yang baru dibaptis tentulah ia akan dibebaskan dari dosa asalnya, pun demekian dengan sakramen Pengurapan Orang Sakit. Sedangkan dalam sakramen Ekaristi, seseorang mengakui dosanya hanya dalam rangka penghapusan dosa-dosa ringan sedangkan dosa-dosa berat akan diampuni ketika sesorang melakukan sakramen pertobatan. Dengan demikian, dosa seseorang dapat diampuni ketika ia berada dalam setiap sakreman-sakramen yang ada dalam Gereja.
7.      Dimensi Anropologis dan Sosiologis
Dalam dimensi ini, pertobatan dikaitkan dengan cara hidup dalam setiap budaya dan masyarakat. Dengan kata lain, tindakan pengmpunan atas dosa sangat didasarkan pada gaya hidup dari klan atau suku bangsa tertentu. Sebagai contoh; di Merauke, Irian Jaya, pengampunan atas kesalahan atau dosa yang dilakukan seseorang dapat berupa barteran barang, entah makan atau bahan-bahan lain yang dirasa perlu. Ketika seseorang berbuat salah, ia dapat saja diampuni namun harus dengan sejumlah barang itu. Akan tetapi, kita harus kritis bahwa kebiasaan ini hanya terjadi di dalam lapisan masyarakat tertentu sehingga tidak serta merta berlaku untuk semua masyarakat luas.
Hal lain yang perlu ditegaskan dalam dimensi ini adalah relasi yang dibangun dalam rangka mewujudkan sakramen pertobatan itu. Sakramen Pertobatan seringkali mengalami kegagalan karena orang yang hendak mengakukan dosanya menaruh perasaan yang sangat bersifat sosial, sehingga ia dengan gampang tidak melakukan pengakuan dosa. Aspek sosial itu termasuk relasi yang dibangun antara orang itu dan imam yang akan memberikan sakramen Pertobatan. Relasi ini bisa dalam arti konflik atau persahabatan yang dibangun sehingga muncul rasa canggung untuk melakukan pengakuan dosa.
8.      Dimensi Pastoral
Saya pernah melakukan penelitian menyangkut sakramen ini pertobatan ini di Paroki St. Fransiskus Xaverius Pineleng. Di sana, saya menemukan bahwa praktek sakramen ini sangat bersifat sosiologis karena mengandalkan relasi dan hubungan yang dibangun oleh imam paroki itu dengan umatnya. Artinya, umat yang ada di sana sangat bersifat menusiawi karena canggung mengakui dosa-dosa mereka di hadapan seorang imam yang hampir tiap hari mereka jumpai. Padahal imam adalah wakil Kristus di dunia ini yang menerima Tahbisan suci. Karena itu, maka sakramen Pertobatan jarang untuk dilakukan. Kalau pun dilakukan, itu hanya sebagian kecil orang yang berpartisipasi di dalamnya.
Akan tetapi, jauh dari itu sakramen Pertobatan dalam dimensi ini mau menegaskan bahwa kehidupan seseorang dalam menggereja sangat tergantung pada usaha seorang gembala yang menjadi pemimpinnya. Dengan pelayanan yang dilakukan oleh sang gembala, seseorang dapat dibebaskan dari dosa dan kesalahan karena kuasa pengampunan yang dimiliki oleh gembala itu sendiri. Karena itu, sakramen Pertobatan ini dapat terlakasana apabila pelayanan yang dilakukan sesuai dengan kehidupan umat beriman setempat.



Bagian III
Kesimpulan

            Dari pembahasan di atas, penulis mencoba memberikan sedikit kesimpulan berdasarkan pemahaman penulis berdasar atas pemahaman-pemahaman yang telah berkembang sejak Yesus hidup di dunia ini. Benarlah bahwa sakramen Pertobatan ini sendiri dikehandaki oleh Kristus jika kita merujuk kepada seruanNya ketika tampil di hadapan umum untuk pertama kalinya. Untuk mencapai Kerajaan Allah, sesorang diminta untuk bertobat dan memberi diri untuk menerima sabda yang diwartakan oleh Yesus itu. Lebih lanjut, sakramen Pertobatan ini dihidupi dengan cara yang ditunjukkan oleh jemaat gereja perdana yang membangun hidup berdasarkan ajaran dan perintah Yesus bagi mereka. Pun demikian dengan para teolog ternama yang menafsirkan secara detail menyangkut dosa dan sakramen pertobatan ini. Bagi mereka, dosa merupakan pelanggaran manusia akan perjanjian yang dibangung dengan Allah. Manusia menjauh dari pelukkan Allah sehingga perlu untuk dirangkul kembali ke dalan pelukan Allah. Hal ini dapat dilakukan melalui sakramen Pertobatan yang ditawarkan dalam Gereja Katolik.
Sakramen Pertobatan dalam Gereja Katolik dipandang sebagai sarana bagi orang beriman untuk berjumpa lagi dengan Allah setelah menjauh dari-Nya. Sakramen Pertobatan berusaha merenggut kembali orang-orang beriman yang mengalami penderitaan dosa. Dengan alasan utama adalah bahwa sakareman Pertobatan sendiri adalah wujud asli kehadiran Yesus yang menyelamatkan manusia. Yesus adalah Penyelamat manusia yang berdosa dan dengan itu Ia hadir dalam setiap sakramen yang diwariskan oleh Gereja sebagai jalan menuju Allah Bapa di surga.
            Demikianlah sakramen Pertobatan dapat disebut sebagai sakramen rekonsiliasi yang selalu mendampingi kita yang mengalami keadaan dosa. Ia merenggut kita dari cengkeraman maut dan mempersiapkan kita untuk bersatu dengan Bapa dalam keadaan yang bersih dan tanpa cacat. Hal itu menjadi mungkin kalau kita menempatkan Kristus sebagai jalan keselamatan satu-satunya.


                                                Pineleng, 2011
Ignasius Fernatyanan


[1] Bdk. Kis. 4:32-36.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar