Sejak kemarin, tadi malam, hingga pagi tadi aku “bergulat”
dan merenungkan tentang relasi personal yang ada di dalam diri Allah. Bapa, Putera
dan Roh Kudus adalah Allah yang memiliki satu hakikat, namun berbeda dalam
pribadi. Allah yang satu hakekat itu mewujud dalam cara yang berbeda. Inilah inti
dari iman Kristen. Bahwa sesungguhnya, kita mengimani bahwa Allah itu satu saja dan
hadir dalam diri Bapa, hadir dalam diri Putera, dan hadir dalam diri Roh Kudus.
Itulah sedikit pergulatan yang kualami.
Di dalam pergulatan yang kurangkaikan dalam secercah harapan
ini, aku menemukan bahwa ada relasi yang terjadi di dalam diri Allah. Bapa berelasi
dengan Putera, Putera berelasi dengan Roh Kudus dan sebaliknya. “Ketiganya”
saling berelasi satu sama lain. Dengan kata lain, hakikat Allah dapat
dimengerti kalau di dalam diriNya ada relasi itu. Bapa menjadi Bapa jikalau
Putera bereksistensi, demikian juga Roh Kudus. Betapa intim relasi itu. Relasi itu
dibalut dan diwarnai dengan Cinta yang begitu indah.
Karena itulah, kita menyebut bahwa Allah adalah Cinta, Allah
adalah Kasih. Cinta dan Kasih itu menjadi nampak bagi manusia karena relasi itu
terjadi di dalam diri Allah. Cinta Kasih yang nyata di dalam diri Allah itu
disentuhkan juga pada manusia yang lahir sebagai ciptaan Allah. Manusia diciptakan
atas dasar Cinta dan Kasih Allah sendiri. Alam dan jagat raya dibentuk juga
atas dasar Cinta Kasih Allah. Allah menjadi sumber segala sesuatu. Ternyata,
relasi Allah mewujud dan nayata pula dalam karya Allah.
Bagaimana dengan keberadaan ciptaan yang “kelihatannya”
tidak sesuai dengan maksud Allah? Bagaimana dengan mereka yang setiap hari
berduka? Bagaimana dengan mereka yang setiap hari mengalami kecemasan? Bagaimana
dengan mereka yang setiap hari dihampiri oleh kesedihan? Bagaimana dan
bagaimana pula mereka-mereka itu? Ketahuilah, ketika Allah menciptakan manusia,
Ia dengan tahu dan mau menempatkan CintaNya di dalam hati manusia. Untuk apa sajakah
Cinta itu?
Cinta Allah itu ditempatkan di dalam hati manusia supaya
manusia tahu mencintai sesamanya. Kasih itu ditempatkan di dalam hati manusia
supaya manusia tahu berbagi rasa terhadap ciptaan yang lain. Jelaslah bahwa
Cinta itu tidak dimaksudkan untuk “cinta diri” semata, melainkan Cinta untuk
yang lain. Ketika Cinta itu disentuhkan kepada yang lain, manusia
memperlihatkan relasi yang ada di dalam diri Allah sendiri. Ketika Cinta itu ditunjukkan
kepada yang lain, maka manusia telah mencintai Allah pula.
Duka, kecemasan, kesedihan dan seterusnya yang dimiliki oleh
manusia adalah “usaha” Allah mengajak manusia untuk membagikan Cinta kepada
yang mengalami semua rasa perih itu. Dengan kata lain, kedukaan, kecemasan dan
kesedihan sesama dan ciptaan yang lain adalah tanggung jawab kita bersama. Hatilah
yang berbicara saat itu. Hati itulah yang melahirkan Cinta kepada sesama. Saat itu
pula, Allah “tersenyum” di surga karena melihat manusia saling mencintai,
menolong dan memperhatikan.
Lagi-lagi, aku suka mengatakan ini, “Kita mencintai karena
Allah lebih dahulu mencintai kita.” Sungguh ‘ajaiblah’ Allah kita yang hadir
sebagai sumber Cinta. Relasi Cinta yang dimilikiNya dibagikan pula kepada
seluruh ciptaanNya. Relasi CintaNya yang abadi mewarnai juga hidup manusia. Dengan
begitu, manusia dapat ditempatkan dalam tata keselamatan Allah sendiri. Lantas,
bagaimana dengan Saya, Anda dan kita semua? Apakah kita sudah cukup mencintai
orang lain yang sedang menderita di dalam hidupnya?
Lembah Bantik Pineleng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar