12 Juli 2013

AGAMA, SUMBER KEDAMAIAN, BUKAN SEBALIKNYA


Pagi ini saya memilih untuk membaca beberapa informasi dan atau berita yang bertemakan agama di layar komputerku sendiri. Ada berita yang menunjukkan bahwa orang sedang mempertahankan agamanya dengan melihat posisi dan kepentingan serta isi ajarannya yang paling benar bila dibandingkan dengan agama yang lain. Ada berita yang memperlihatkan bahwa kebebasan beragama dianggap sudah tak bisa dipertahankan lagi karena ulah dan peristiwa yang mencekam banyak orang. Ada pula berita yang mengulas tentang kejahatan-kejahatan yang terjadi di dalam agama. Semuanya berita ‘miring’ yang coba mempengaruhi pola rasa dan pola tindak manusia untuk berbelok arah dari agamanya sendiri.

Terlepas dari semua berita itu, saya memilih untuk berdiri di tengah-tengah, tanpa menjustifikasi satu dari sekian banyak agama yang ada di dunia ini. Saya lantas teringat akan pesan dosen pembimbingku yang pernah mengatakan bahwa “Jika kamu hendak mengetahui, mengenal dan mempelajari agama lain, kamu harus ‘menjadi bagian’ dari agama itu.” Dengan kata lain, kamu harus menjadi ‘muslim’ jika mau mempelajari agama Islam. Kamu harus menjadi ‘katolik’ jika mau mempelajari agama Katolik. Begitulah seterusnya dan seterusnya. Sebaliknya, jika kamu mempelajari agama lain dengan tetap berdiri, berpihak dan berpegang teguh pada agamamu sendiri, maka yang akan kamu peroleh adalah ‘pertentangan’ yang membuat dunia semakin hancur. Jadi, kalau kita memandang agama lain, pandanglah seperti dan sesuai dengan keyakinan orang lain yang memeluk agama itu, tapi kamu sendiri tidak menyatakan diri sebagai pemeluk agama itu secara langsung. Itulah sikap yang benar dalam konteks perbandingan agama-agama.

Lebih dalam dari pada semua itu, agama adalah sebuah sistem kepercayaan kepada Tuhan yang Mahakuasa. Ia adalah lembaga yang ‘mengatur’ para pemeluknya untuk hidup sesuai dengan ajaran, perintah dan kehendak Tuhan. Email Durkheim pernah berkata bahwa “Agama adalah suatu sistem yang terpadu atau keyakinan dan praktek yang berhubungan dengan hal-hal yang suci dan menyatukan semua penganutnya dalam suatu komunitas moral yang dinamakan umat.” Tujuan agama adalah ‘mempertemukan’ manusia dengan Tuhan yang Mahakuasa itu. Di samping itu, dalam memeluk suatu agama tidak perlu sikap pemaksaan, tetapi sikap bebas dan kerelaan untuk memeluk suatu agama.  Di samping itu pula, Tuhan bekerja dalam diri manusia bukan saat seseorang menjadi dewasa, tetapi saat manusia itu berada di dalam kandungan ibunya. Dan, di balik semua itu, agama tidak pernah mengajarkan tentang perpecahan, kekerasan, penindasan dan atau pun pembunuhan. Agama selalu mengedepankan kualitas-kualitas moral yang menyelamatkan manusia.

Para sahabatku yang terkasih, bersamaan dengan terbitnya sang surya di ufuk timur sana, saya mengajak Anda sekalian untuk memeluk agamamu sesuai dengan kepercayaanmu masing-masing. Jalan kepada Tuhan begitu banyak, tetapi Tuhan itu sendiri hanya satu. Yang keliru dari manusia adalah ‘pandangan, pengetahuan dan sikap tak mau menerima’ yang lain sebagai salah satu pemeluk agama yang lain. Kita boleh menjadi “fanatik” dengan agama kita sendiri tetapi tidak harus ‘mencelakakan’ dan menindas yang lain. Saya sendiri yakin bahwa melalui agama, perdamaian dunia dapat diwujudkan. Itu pun kalau kita mau untuk menghidupi nilai-nilai moral yang diajarkan di dalam agama kita masing-masing. Kalau tidak, maka seruan-seruan perdamaian dunia, Negara, kota, desa dan seterusnya hanya tinggal seruan belaka. Tuhan tidak menghendaki pertikaian, malahan Ia menghendaki perdamaian itu. Usahakanlah kehendakNya dan kamu akan mendapatkan perdamaian itu.

Penulis: Ignasius Fernatyanan
Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng

Tidak ada komentar:

Posting Komentar