Sore itu, kala matahari beranjak menuju peraduannya, si miskin tua itu
berdiri di tepi bangunan mewah nan megah, berlantaikan 10, sembari
memegang jualan kacang yang kelihatannya sudah membusuk karena termakan
waktu. Semua orang yang pernah melintas di hadapannya tak pernah
memandangnya, apa lagi membeli jualan kacang itu.
Si tua itu tak
pernah lelah menyodorkan jualan kacang itu kepada tiap orang datang dan
pergi. Kasihan... Orang tak pernah menengoknya. Bagaimana mungkin
jualan kacang itu laris manis? Di balik jualan kacang itu, ia mencari
sesuap nasi demi hidupnyaa sendiri. Mungkin saja ia masih punya anak di
rumah yang sedang kelaparan. Tapi, jualan kacang itu tak jua dibayar
orang.
Mau apa lagi? Ia hanya bisa menyodorkan jualan itu
sambil memohon belas kasihan dari siapa saja yang kebetulan melintas. Ia
menyodorkan dan menyodorkan dan menyodorkan terus tanpa henti. Hanya
itu yang bisa dibuatnya. Oh... Si miskin tua... Bajumu kusut, tersobek
dan berbau. Sedang di sekitarmu banyak yang berbaju indah yang lewat
sembari memperlihatkan kebahagiaan mereka. Kamu berdiri sambil
menderita.
Cita rasa kemanusiaan sirna setiap hari kala si
miskin itu berdiri di tempat yang sama. Bangunan mewah nan megah itu
dikontraskan dengan si miskin yang berdiri di baliknya. Bangunan itu
terlalu egois, apa lagi setiap orang yang berpapasan dengan si miskin
itu. Orang-orang itu tak ada bedanya dengan bangunan besar itu.
Kelihatan indah namun sebenarnya mati rasa. Hati mereka tumpul dan tak
bisa membaca situasi kemanusiaan di sekitar.
bersambung...
@kaki bantik pineleng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar