11 Maret 2013

SI MISKIN ITU TAK BOSAN BERDIRI DI SANA (I)

Sore itu, kala matahari beranjak menuju peraduannya, si miskin tua itu berdiri di tepi bangunan mewah nan megah, berlantaikan 10, sembari memegang jualan kacang yang kelihatannya sudah membusuk karena termakan waktu. Semua orang yang pernah melintas di hadapannya tak pernah memandangnya, apa lagi membeli jualan kacang itu.

Si tua itu tak pernah lelah menyodorkan jualan kacang itu kepada tiap orang datang dan pergi. Kasihan... Orang tak pernah menengoknya. Bagaimana mungkin jualan kacang itu laris manis? Di balik jualan kacang itu, ia mencari sesuap nasi demi hidupnyaa sendiri. Mungkin saja ia masih punya anak di rumah yang sedang kelaparan. Tapi, jualan kacang itu tak jua dibayar orang.

Mau apa lagi? Ia hanya bisa menyodorkan jualan itu sambil memohon belas kasihan dari siapa saja yang kebetulan melintas. Ia menyodorkan dan menyodorkan dan menyodorkan terus tanpa henti. Hanya itu yang bisa dibuatnya. Oh... Si miskin tua... Bajumu kusut, tersobek dan berbau. Sedang di sekitarmu banyak yang berbaju indah yang lewat sembari memperlihatkan kebahagiaan mereka. Kamu berdiri sambil menderita.

Cita rasa kemanusiaan sirna setiap hari kala si miskin itu berdiri di tempat yang sama. Bangunan mewah nan megah itu dikontraskan dengan si miskin yang berdiri di baliknya. Bangunan itu terlalu egois, apa lagi setiap orang yang berpapasan dengan si miskin itu. Orang-orang itu tak ada bedanya dengan bangunan besar itu. Kelihatan indah namun sebenarnya mati rasa. Hati mereka tumpul dan tak bisa membaca situasi kemanusiaan di sekitar.

bersambung...

@kaki bantik pineleng

Tidak ada komentar:

Posting Komentar