(sebuah
refleksi)
Bapa yang baik, yang dilukiskan oleh Lukas dalam Injil hari
ini adalah Allah Bapa sendiri, yang bertahkta di dalam kerajaan surga. Anak
yang hilang itu adalah manusia yang meninggalkan Allah dan hidup dalam
kemewahan dunia. Allah memberikan jaminan kehidupan yang layak kepada manusia,
tetapi manusia memboroskan segala miliknya dan melakukan yang jahat di hadapan
Allah. Dengan demikian, manusia jauh dari Allah, harapanNya dan rencanaNya yang
mulia.
Sebab utama manusia menjadi jauh dari Allah adalah
keinginannya untuk meminta bagian dari Allah. Setelah meminta, ia pergi, hidup
di dunia, dan menghabiskan semua pemberian Allah itu. Ketika pemberian Allah
telah habis dipakainya, ia tak tahu lagi bagaimana mendapatkan pemberian lagi,
sedang ia sendiri tidak taat kepada Allah oleh karena sikapnya yang jahat.
Entah kepada siapa, tapi yang pasti tak ada orang lain lagi selain menjadi
hamba yang hina, yang bekerja kepada orang lain. Ia merendahkan dirinya sendiri
oleh karena perbuatan-perbuatannya. Ia benar-benar hilang dari hadapan Allah.
Namun demikian, manusia cukup “pintar” dan karena itu
berbalik kepada Allah sebagai sumber segala pemberian. Di dalam Allah, ada
pengampunan, ada belas kasih dan ada maaf kepada manusia. Manusia sadar bahwa
ia telah hilang jauh dari Allah sehingga ia berusaha untuk menemukan Allah
lagi. Itulah sebabnya, ia berbalik kepada Allah dan memohon pengampunan dari
padaNya. Allah juga tidak menutup mataNya, atau melipata tanganNya ketika
manusia datang kepadaNya. Karena itu ia menerima manusia kalau manusia memang
mau bertobat. Yang terpenting ialah manusia menyesali segala perbuatan jahatnya
dan berbalik kepada Allah. Dengan begitulah pengampunan diterima dari Allah.
Kalau demikian, keselamatan yang diterima manusia dijalankan
secara dialogis, dua arah dan bukan satu arah. Di dalam cara itu, ada Allah dan
manusia. Allah memberi pengampunan kepada manusia, dan manusia memperlihatkan
sikap tobat dan berbalik kepada Allah. Ini salah satu sikap dan atau cara yang
aktif, yang melibatkan Allah dan manusia sekaligus. Kesimpulannya, untuk
memperoleh keselamatan, dibutuhkan peranan Allah dan manusia. Jadi, pengampunan
yang diberikan Allah adalah keselamatan yang diterima manusia berkat kehendak
pribadinya untuk berbalik kepada Allah dan hidup sesuai perintah dan kehendak
Allah pula.
Kalau begitu, manusia tidak perlu memisahkan dirinya dari
Allah sebab ia tidak akan dapat hidup sendirian. Ia hanya akan menggerutu dan protes
akibat situasi hidupnya yang kacau. Hal yang sama dapat dilihat dalam hidup
keluarga, masyarakat dan negara. Anak lahir di dalam keluarga. Yang namanya
keluarga selalu ada ayah dan ibu serta anak itu. Anak hanya dapat hidup berkat
kerja sama ayah dan ibu. Anak tidak dapat berjalan sendiri tanpa ayah dan ibut.
Sebaliknya, ia selalu mengharapkan dukungan dari ayah dan ibunya. Demikianlah
dapat disebut sebagai keluarga.
Hal yang sama berlaku juga dalam kehidupan masyarakat.
Masyarakat terdiri dari keluarga-keluarga. Di sana harus ada kerja sama dari
tiap-tiap keluarga agar ditemukan kedamaian hidup dan kerukunan. Sikap yang
sama dapat juga diperlihatkan dalam kehidupan bernegara. Masing-masing elemen
masyarakat dalam negara diminta untuk bekerja sama dan memajukan kesejahteraan
negara secara bersama. Maka, tidak ada yang berdiri sendiri, malahan saling
membutuhkan satu sama lain agar hidup semakin lengkap dan sempurna berkat kerja
sama itu.
Sebetulnya, itulah keselamatan yang terwujud dalam kehidupan
manusia. Allah dengan tahu dan mau memberikan rahmatNya bagi manusia lewat
kerja sama. Kerja sama antara manusia dan Allah, lalu dihidupkan dalam
pergerakan manusia sendiri. Itu sebabnya, keselamatan yang diterima manusia itu
tidak lagi abstrak melainkan konkrit dan dapat dirasakan oleh manusia sendiri.
Sebab pada dasarnya manusia memuji dan memuliakan Allah secara manusiawi.
Artinya, dengan cara manusia sendiri, bukan yang lain. Manusia beragama, tetapi
ia beragama secara manusiawi.
@kaki bantik pineleng
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar