15 Oktober 2012

KASIH SETIA TUHAN MELAMPAUI BATAS


Bangsa Israel, dalam diri sang Pemazmur, berseru-berseru kepada Tuhan: "Kiranya kasih setia-Mu mendatangi aku, ya Tuhan." Kasih setia Tuhan yang diserukan itu sudah datang dalam diri Yesus Kristus, dan tinggal beserta mereka, tapi mereka sendiri tak mengenal-Nya. Sampai pada saat orang Farisi yang mengundang Yesus untuk makan di rumahnya pun tak mengenal Dia. Sangkanya, Yesus hanyalah orang biasa yang terkenal begitu saja sehingga diundang. Orang Farisi itu heran karena Yesus tidak mencuci tangan sebelum makan. Tapi bagi Yesus, bukan itulah yang harus diperhatikan. Bukan adat atau tradisi seperti itulah yang harus dipertahankan, tapi sesungguhnya apa yang menjadi bagian inti dari 'cawan' dan 'pinggan'. Itulah yang harus 'diperbaiki' dan dihidupi. Apa yang hakiki dari tradisi itulah yang dilaksanakan.

Kasih setia Tuhan bagaikan hujan yang turun bagi semua orang. Kasih-Nya sama untuk semua orang, tanpa membeda-bedakan. Siapa yang lihai dan pandai serta bijak menerima berkat itu, ia memperoleh hidup. Siapa yang berusaha untuk menanam 'padi' atau 'jagung' pada musim hujan, daripada duduk malas, akan memperoleh hasil yang baik baginya. Yesus datang untuk semua orang, tetapi orang Farisi itu tidak mengenal-Nya sebagai Penyelamat. Malah sebaliknya, ia mempertahankan kebiasaan lama yang sebenarnya baik tetapi telah dicampur-adukan dengan kesombongan, dan kemunafikan maka menjadi sebuah aturan belaka, yang tak berpengaruh bagi hidup keagamaannya dan dirinya sendiri. Karena itu, Yesus mengharapkan agar apa yang dilakukannya sungguh-sungguh keluar dari hati dan budinya serta merupakan keinginan terbesarnya sebagai orang yang percaya kepada Allah, bukan semata-mata kerana aturan. Karena itu pula, St. Paulus, dalam suratnya kepada jemaat di Galatia menegaskan bahwa kita ini adalah anak-anak Allah kalau kita mendengarkan Allah, menerima Allah dengan sungguh-sungguh. Bukan sunat atau tidak bersunat yang menentukan kita menjadi anak-anak Allah, melainkan karena kita beriman kepada-Nya. Inilah isi dari 'cawan' dan pinggan itu.

Tuhan meminta kita untuk menjalankan apa saja (termasuk praktek hidup keagamaan kita) dengan baik, dan sungguh-sungguh keluar dari hati kita. Sebaliknya, Ia tidak berharap agar kita melakukan segala sesuatu hanya karena: keterpaksaan aturan, atau supaya dilihat orang, atau supaya dipuji orang, dan atau supaya memenuhi syarat belaka. Aturan dan tradisi bukanlah yang memberi kekudusan kepada kita sehingga layak di hadapan Allah, melainkan iman, hati dan perbuatan kita. Mari, kita belajar untuk melihat kehadiran Tuhan sebagai pemenuhan atas undangan dan kerinduan kita untuk menerima kasih setia dari pada-Nya. Semoga kasi setia-Nya membakar jiwa dan raga kita agar dalam menjalankan hidup ini kita senantiasa berbuat sesuatu hanya karena ingin memuliakan nama-Nya dan ingin pula menghidupi sesama. Sebaliknya, bukan menghidupi kesombongan dan kemunafikan dalam diri kita.


Sari Khotbah P. J. S. Pr.

Lembah Bantik Pineleng

Tidak ada komentar:

Posting Komentar