
Suatu ketika, di saat hari hampir berubah menjadi sore, daku menumpangi sebuah angkot berwarna biru bersama sang sopir yang agak ke-gaul-gaulan alias masih cukup umur untuk dikatakan muda. Dalam angkot itu, daku termenung sambil memikirkan nasib sebagian orang yang hidupnya tak seindah daku atau pun sang sopir yang sedang mengendarai angkot yang kutumpangi itu. Nampaknya penderitaan sangat melekat dengan hidup berlaksa-laksa orang di bumi yang agak luas dan besar ini. Penderitaan menjadi akrab dengan manusia. Ia tak mau berdiri sendiri. Tempat tinggalnya adalah manusia. Dengan kata lain, ia menyatu dengan manusia. Sempat daku mengingat kembali apa yang sudah daku pelajari sewaktu di ruangan kuliah: "penderitaan berasal dari manusia". Gumamku dalam benak yang kecil dan kurus ini. Yah, itulah yang diajarkan oleh Buddha atau sering dengan gampang dan santai menyebutnya Sidharta Gautama, pendiri agama Buddha. Apakah benar demikian? Demikianlah yang dimainkan dalam rana pikiran daku. Tiba-tiba, handphone dalam saku ini berdering dan memutuskan alur pemikiran yang sedang daku jejaki. "Ter, bawa akang dang tu teman yang mau badonor...". Demikian bunyi suara dari sebarang sana. Kayaknya, ada yang membutuhkan darah. Alur pemikiran mengenai penderitaan yang baru saja hadir dalam benak daku kini menjadi kenyataan. Seorang ibu menyerukan bantuan darah bagi adik suaminya yang sementara sakit parah. Tuhan, apakah penderitaan ini dapat berakhir? Gumamku dalam hati sambil menganalisa sekaligus ingin mengetahui penderitaan yang dialami oleh orang yang membutuhkan darah itu.
Aku hanya terdiam dan membisu ketika permintaan darah itu terlintas lagi di pikiranku. Apakah penderitaan itu adalah kehendak Tuhan bagi manusia? Ataukah manusia yang menyebabkan penderitaan atas dirinya? Berbagai pertanyaan menyelimuti pikiran ini.
Helaan napas yang cukup panjang kulakukan sembari turut bersedih atas penderitaan yang dialami orang-orang di sekitarku. Aku hanya bisa berkata dalam hati kecilku, "Tuhan, jauhkanlah penderitaan yang dialami oleh banyak orang di bumi yang megah ini". Yakinku bahwa Tuhan senatiasa menghendaki yang terbaik bagi diri dan hidup manusia. Karena itu, penderitaan kuanggap sebagai suatu melodi hidup yang harus diberi makna.
Beberapa menit kemudian, angkot yang kutumpangi sampai pada tujuanku. Aku lalu menarik dompet dari "popoji-ki" dan mengambil sejumlah uang untuk membayarkan harga angkot itu. Angkot lalu pergi dan aku terus masuk ke tempat tinggalku.
Beberapa lama kemudian, aku sudah bersama dengan seorang temanku yang bersedia mendonorkan darahnya bagi ibu yang membutuhkan tadi. Kami meneruskan perjalan dan menuju ke tampat berdonor darah. Di sana, ibu itu sudah menunggu dan menjemput kami dengan senyuman hangat karena kehadiran kami. Jarum donor pun ditancapkan pada lengan temanku, dan darah ditransfer ke kantong yang sudah disediakan tim medis.
Setelah melakukan transfusi darah, kami lalu kembali pulang ke tempat tinggal kami.
Belum juga sampai ke tujuan kami, kabar buruk datang dan menghampiri telinga kami melalui HP bahwa orang yang tadinya didonorkan darah sudah meninggal dunia.
"Tuhan, kami sudah bermaksud baik dengan mendonorkan darah kepadanya, tapi mengapa ia Kau ambil dari kami?", sahut aku dalam hati.
Tapi itulah kehendaknya. Ia menginginkan yang terbaik bagi hidup manusia yang dicintaiNya. Logika kami, mungkin itulah yang terbaik bagi orang yang telah meninggal itu. Kami tak dapat membayangkan kalau ia masih hidup, pasti penderitaan selalu dirasakannya karena sakit itu.
Pengalaman sakit memang tidak menguntungkan bagi manusia yang mengalaminya. Tapi itulah akibat dari manusia itu sendiri. Ia seharusnya menjaga sambil menghargai hidupnya sendiri. Tuhan telah memberi hidup, maka dari itu, perlu dijaga dan dipegang sebagai sebuah anugerah dari Tuhan.
Saat itu, yang kami pikirkan adalah pasti orang itu diterima dalam Surga. Karena Tuhan itu tidak pernah meninggalkan umatNya sendiri. Yang sakit disembuhkanNya, dan yang mati dibangkitkanNya. Itulah alasan bagi kami untuk meyakini bahwa kematian orang itu adalah kehendak Tuhan yang terbaik baginya.
Dari pengalaman penderitaan, kita belajar untuk melihat kehendak Tuhan di dalamnya. Dengan ceroboh, pasti kita akan mengatakan bahwa penderitaan adalah bagian dari hidup manusia dan sudah seharusnya demikian karena kemanusiaannya. Bukan itu yang harus diungkapkan apalagi diekspresikan dengan menolak Tuhan dalam hidup. Tuhan selalu berkehendak baik bagi manusia. Sebaliknya, Ia tidak menginginkan yang buruk atau jahat dalam hidup manusia. Keamatian harus dilihat dalam arti yang lain, apalagi penderitaan dalam hidup. Hanya penafsiran yang salah dari kita yang menyesatkan pola berpikir kita. Kegagalan kita menjaga hidup kitalah yang menimbulkan pola pikir bahwa Tuhan itu tidak adil atas hidup kita. Padahal, kita sendiri kurang menyadari makna kehidupan yang sesungguhnya.
Lihat saja, bagaimana kita dapat bergerak kalau bukan Tuhan yang menggerakkannya? Itu hanya salah satu bukti kecil yang nyata dalam hidup kita. Bayangkan dari mana dunia ini? Apakah ia dapat menciptakan dirinya sendiri? Mustahil namanya. Sedang perputarannya saja ditentukan oleh Tuhan. Memang, Tuhan itu baik. KehendakNya juga baik adanya. Baik apabila kita mengambil makna dari padanya, bukan dari pikiran kita yang kerdil ini.
Lembah Bantik Pineleng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar