Bagi orang Yahudi, salib merupakan sebuah palang penghinaan. Salib
lebih dekat pada penjahat kelas kakap. Bagi orang Yunani, salib itu satu
kebodohan tersendiri bagi orang yang memanggulnya dan tergantung pada salib
itu. Bagi orang-orang yang percaya kepada Kristus, salib adalah kemenangan. Tuhan
kita menang atas dosa dan maut. Demikianlah salib menghubungkan sengsara dan
wafat Kristus.
Ia sengsara karena salib itu. Ia wafat pula di atas salib itu. Dosa dikalahkan,
manusia dibebaskan. Ciri khas salib itu adalah penolakan dan ketidaktahuan
manusia akan Putera Allah yang melawat ke dunia. Andai saja semua orang
menerima Putera Allah, maka Israel menjadi tempat Allah bersemayam untuk
selamanya. Semua mata akan memandang dan semua langkah menuju ke sana.
Salib itu membuat keselamatan “berpindah” pada dunia yang luas. Semua yang
menaruh hati, percaya dan harapan kepada Putera Allah diperbolehkan untuk
menerima satu kesempurnaan hidup, yaitu keselamatan kekal. Hal itu dapat
terjadi karena salib itu mampu dipikul oleh Putera Allah sampai ke bukit
Golgota. Meski berat namun berkat bagi manusia. Itu karena kerelaan Putera
Allah untuk memikul salib itu.
Jelaslah bahwa Allah tidak menghendaki dosa meraja di atas dunia. Itu sebabnya,
Ia setia terhadap salib itu, dipaku pada salib itu. Saat itu juga dosa
dikalahkan dan maut dihancurkan. Salib menjadi sarana yang paling sempurna
untuk melunasi “hutang” manusia. Manusia berhutang pada Allah maka Sang Putera
melunasiNya dengan memanggul salib itu. Meski berat, Ia tidak mengeluh, tapi
tetap berdiri.
Kalau begitu, salib bukan lagi satu palang penghinaan atau pun satu
kebodohan tapi satu kemenangan bagi orang yang percaya kepada Sang Putera. Ia memenangi
penolakan manusia atas diriNya. Dengan salib itu manusia dilahirkan menjadi baru,
bebas dari dosa dan diperkenankan untuk menikmati kebahagiaan surgawi. Karena itu,
pikullah salibmu dan jangan mengeluh. Di situlah kita diterima oleh Allah.
@Tempok nan Indah
Weekend Place…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar