Pagi ini saya memilih untuk
membaca beberapa informasi dan atau berita yang bertemakan agama di layar
komputerku sendiri. Ada berita yang menunjukkan bahwa orang sedang
mempertahankan agamanya dengan melihat posisi dan kepentingan serta isi
ajarannya yang paling benar bila dibandingkan dengan agama yang lain. Ada berita
yang memperlihatkan bahwa kebebasan beragama dianggap sudah tak bisa dipertahankan
lagi karena ulah dan peristiwa yang mencekam banyak orang. Ada pula berita yang
mengulas tentang kejahatan-kejahatan yang terjadi di dalam agama. Semuanya berita
‘miring’ yang coba mempengaruhi pola rasa dan pola tindak manusia untuk
berbelok arah dari agamanya sendiri.
Terlepas dari semua berita itu,
saya memilih untuk berdiri di tengah-tengah, tanpa menjustifikasi satu dari
sekian banyak agama yang ada di dunia ini. Saya lantas teringat akan pesan dosen
pembimbingku yang pernah mengatakan bahwa “Jika kamu hendak mengetahui,
mengenal dan mempelajari agama lain, kamu harus ‘menjadi bagian’ dari agama
itu.” Dengan kata lain, kamu harus menjadi ‘muslim’ jika mau mempelajari agama Islam.
Kamu harus menjadi ‘katolik’ jika mau mempelajari agama Katolik. Begitulah seterusnya
dan seterusnya. Sebaliknya, jika kamu mempelajari agama lain dengan tetap
berdiri, berpihak dan berpegang teguh pada agamamu sendiri, maka yang akan kamu
peroleh adalah ‘pertentangan’ yang membuat dunia semakin hancur. Jadi, kalau kita
memandang agama lain, pandanglah seperti dan sesuai dengan keyakinan orang lain
yang memeluk agama itu, tapi kamu sendiri tidak menyatakan diri sebagai pemeluk
agama itu secara langsung. Itulah sikap yang benar dalam konteks perbandingan
agama-agama.
Lebih dalam dari pada semua
itu, agama adalah sebuah sistem kepercayaan kepada Tuhan yang Mahakuasa. Ia adalah
lembaga yang ‘mengatur’ para pemeluknya untuk hidup sesuai dengan ajaran,
perintah dan kehendak Tuhan. Email Durkheim pernah berkata bahwa “Agama adalah suatu sistem yang
terpadu atau keyakinan dan praktek yang berhubungan dengan hal-hal yang suci dan menyatukan semua penganutnya
dalam suatu komunitas moral yang dinamakan umat.” Tujuan agama
adalah ‘mempertemukan’ manusia dengan Tuhan yang Mahakuasa itu. Di samping itu,
dalam memeluk suatu agama tidak perlu sikap pemaksaan, tetapi sikap bebas dan
kerelaan untuk memeluk suatu agama. Di
samping itu pula, Tuhan bekerja dalam diri manusia bukan saat seseorang menjadi
dewasa, tetapi saat manusia itu berada di dalam kandungan ibunya. Dan, di balik
semua itu, agama tidak pernah mengajarkan tentang perpecahan, kekerasan,
penindasan dan atau pun pembunuhan. Agama selalu mengedepankan
kualitas-kualitas moral yang menyelamatkan manusia.
Para sahabatku yang terkasih, bersamaan dengan terbitnya sang
surya di ufuk timur sana, saya mengajak Anda sekalian untuk memeluk agamamu
sesuai dengan kepercayaanmu masing-masing. Jalan kepada Tuhan begitu banyak,
tetapi Tuhan itu sendiri hanya satu. Yang keliru dari manusia adalah ‘pandangan,
pengetahuan dan sikap tak mau menerima’ yang lain sebagai salah satu pemeluk
agama yang lain. Kita boleh menjadi “fanatik” dengan agama kita sendiri tetapi
tidak harus ‘mencelakakan’ dan menindas yang lain. Saya sendiri yakin bahwa
melalui agama, perdamaian dunia dapat diwujudkan. Itu pun kalau kita mau untuk
menghidupi nilai-nilai moral yang diajarkan di dalam agama kita masing-masing. Kalau
tidak, maka seruan-seruan perdamaian dunia, Negara, kota, desa dan seterusnya
hanya tinggal seruan belaka. Tuhan tidak menghendaki pertikaian, malahan Ia
menghendaki perdamaian itu. Usahakanlah kehendakNya dan kamu akan mendapatkan
perdamaian itu.
Penulis: Ignasius Fernatyanan
Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar