Gal 1:6-12; Mzm
111:1-2,7-8,9,10c; Luk 10:25-37
Emanuel Levinas adalah seorang filsuf berkebangsaan
Perancis yang pernah merasakan sengsara dan penderitaan serta ditawan oleh
bangsa Jerman dalam sejarah kejahatan Jerman. Bukan saja dia, tetapi orang lain
pun yang bukan warga Jerman ditahan dan ditindas habis-habisan. Situasi seperti
itu membuat Levinas ‘bangun’ dan membuka cakrawala berpikir manusia supaya
tidak menindas sesamanya lagi. Bagi Levinas, “yang lain” adalah sesama, maka
tidak baiklah kita berbuat yang tidak sewenang-wenang terhadapnya. Di sini,
Levinas mengemukakan sebuah teori dan pemahaman baru bahwa yang patut kita
lakukan dalam hidup adalah selalu memandang kepada yang lain. Memandang kepada
yang lain berarti menemukan diri kita sendiri dalam diri mereka. Memandang
kepada yang lain berarti eksistensi manusia terpenuhi secara sempurna. Maka
makna eksistensi manusia selalu ada dalam relasi; relasi persaudaraan, relasi
kasih sayang dan relasi perdamaian, bukan penindasan, penghinaan dan kekerasan.
Hari ini, Tuhan Yesus menunjukkan hal itu kepada seorang
ahli Taurat yang datang kepada-Nya. “Siapakah sesamaku?” Sebuah pertanyaan yang
hendak menggarisbawahi arti dan makna dari hidup manusia. Dua orang pertama
yang berjumpa dengan seorang yang sedang tergeletak di tengah jalan karena
dipukul orang lain boleh saja tidak memandangnya dan bejalan terus. Tapi,
berbeda dengan orang Samaria yang datang dan tergerak oleh belas kasihan lalu
menolong orang itu. Bagi orang Samaria itu, orang yang tergelatak itu adalah
sesamanya, maka ia perlu ditolong, dirawat, dan dihidupkan, bukan membiarkannya
atau melangkahinya begitu saja. Meski dikucilkan oleh orang-orang Yahudi karena
perkawinan campur dengan bangsa lain, orang Samaria itu justru memperlihatkan
sebuah penghayatan hidup yang sungguh bermakna, yakni memandang kepada yang
lain. Ia melakukan itu bukan terutama sebagai suatu kebetulan, tetapi karena
perbuatan itu pada dirinya adalah baik, dan benar di hadapan Allah dan sesama.
Penderitaan orang lain kadang menjadi sesuatu yang amat
biasa bagi kita namun sulit kita tangani. Tangan kita tidak terbiasa untuk
menyodorkan selembar uang atau sesuap nasi atau segelas air bagi mereka yang
membutuhkannya. Malah sebaliknya, tangan itu dilipatkan pada dada kita sambil
menertawakan penderitaan orang lain. Kita juga tidak terbiasa untuk menangis
bersama mereka yang setiap hari menangis karena kebutuhan hidup yang tidak
mencukupi. Semua ini ada di sekitar kita namun bukan menjadi pusat perhatian
kita sendiri. Hari ini, sebagai orang beriman kristiani, Tuhan Yesus mengajarkan
kepada kita untuk membuka hati dan mata kita agar selalu memandang kepada yang
lain, yang menderita, yang sakit dan bersengsara. Orang rajin masuk gereja dan
beribadah dan mengikuti ekaristi setiap hari Minggu tetapi setelah itu hidup
tidak dalam semangat ekaristi. Sesungguhnya, ekaristi adalah perayaan yang
memabagi-bagikan Tubuh dan Darah Tuhan Yesus, maka kita juga, sebagai anggota
Tubuh Kristus dituntut untuk memabagikan rahmat yang sama kepada orang lain.
Kita dituntut untuk menampilkan kebaikan dan kebenaran dengan memandang kepada
yang lain, yang juga hidup di sekitar kita dan sedang menderita sengsara. Semua
ini dapat kita lakukan kalau kita sendiri setiap hari mengasihi Tuhan Allah
dengan segenap hati, jiwa, kekuatan, dan akal budi kita.
Tuhan, bantulah
kami agar dapat melihat yang lain sebagai sesama kami...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar